Tokoh
Senin, 15 Agustus 2011 - 14:28 WIB

Mudjiono, sebuah dedikasi untuk regenerasi

Redaksi Solopos.com  /  Nadhiroh  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Mudjiono (SOLOPOS/Syahamah Fikria)

Mudjiono (SOLOPOS/Syahamah Fikria)

Di belakang kendang yang dimainkannya, pria itu terlihat seksama memperhatikan gerak-gerik seorang bocah yang memainkan wayang di sebuah kelir. Sesekali ia mendekati bocah itu dan membenarkan cara sabetan atau cara menancapkan wayang yang benar.

Advertisement

Tak hanya satu bocah yang menjadi pusat perhatiannya. Meski bicara dengan anak-anak, ia bertutur kata halus dan berbahasa Jawa krama, mengingatkan beberapa bocah yang membaca dalam gelap atau tiduran di tempat kotor.

Ya, dialah Mudjiono. Di usianya yang lebih dari setengah abad itu, hampir sebagian besar hidupnya didedikasikan untuk regenerasi dunia pedalangan.

Advertisement

Ya, dialah Mudjiono. Di usianya yang lebih dari setengah abad itu, hampir sebagian besar hidupnya didedikasikan untuk regenerasi dunia pedalangan.

Berawal pada 1982, saat dirinya bekerja sebagai salah seorang staf Taman Budaya Surakarta, yang saat itu masih berlokasi di Sasono Mulyo Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, ia mulai tekun melatih para remaja berlatih dalang.

“Satu tahun kemudian, saya dititipi seorang anak untuk dilatih. Setelah berjalan empat tahun di kalangan remaja itu tidak ada peningkatan, sedangkan di satu sisi saya melihat banyak anak-anak yang berpotensi untuk dididik mendalang dan karawitan. Saya memperhatikan dari pekan olahraga dan seni (Porseni),” ujar Mudjiono, mengawali perbincangan dengan Espos, di kediamannya, Jl Gambiranom 13, Gunungsari, Benowo, Ngringo, Jaten, Sabtu (13/8/2011).

Advertisement

Telanjur cinta melatih mendalang anak-anak, pria kelahiran Malang 10 April 1954 itu mengaku begitu menikmati menghadapi polah tingkah anak-anak, dari yang berusia Balita hingga belasan tahun. Ia menerapkan prinsip kekeluargaan dan menganggap anak-anak itu sebagai anaknya sendiri.

“Ya memang menghadapi anak-anak itu kalau dilihat sepintas lebih sulit, tapi sebenarnya gampang karena mereka masih polos, lebih mudah dibentuk menjadi apapun. Maka dari itu di setiap mengajar mereka fondasinya saya terapkan pendidikan moral dan etika dulu. Kalau itu sudah beres, melatih mendalang itu mudah, mengalir saja,” imbuhnya.

Hingga kemudian tahun 1993, ia bisa mendirikan Padepokan Seni Sarotama, alumni STSI Solo (sekarang ISI Solo-red) bisa lebih banyak memfokuskan waktunya untuk dunia dalang anak-anak. Di tengah keseriusannya mendidik anak-anak itu, bukan berarti tak ada rintangan yang dihadapi.
Diakuinya ada beberapa orang yang menganggap dirinya memanfaatkan anak-anak. Apalagi kemudian, banyak anak didiknya yang lihai mendalang dan sering pentas di berbagai tempat.

Advertisement

Tanpa banyak kata, ia pun menerima dengan ikhlas cibiran itu. Karena menurutnya, saat dari awal ia mengajar mendalang anak-anak, bukanlah keuntungan material yang ia pikirkan. Melainkan ada banyak unsur edukasi, norma, budaya dan kedisiplinan yang terkandung dalam dunia dalang. Hal itulah sebenarnya yang ingin dia tanamkan kepada anak-anak.

“Saya memang tak pernah mau menghitung proses ini secara profesional karena memang sebagian besar waktu saya sudah untuk mereka. Kalau dihitung seperti itu malah njlimet. Misalnya saat ada yang mau manggung, saya bisa beberapa hari full melatih mereka, lha kalau dihitung profesional, berapa coba?” kelakar Mudjiono.

(Syahaamah Fikria)

Advertisement

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif