Kolom
Jumat, 29 Juli 2011 - 06:01 WIB

Hilal mengawali Ramadan 1432 H

Redaksi Solopos.com  /  R. Bambang Aris Sasangka  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Siti Tatmainul Qulub (JIBI/SOLOPOS/Ist)

Siti Tatmainul Qulub (JIBI/SOLOPOS/Ist)

Perbedaan berpuasa dan berlebaran memang bukan hal baru di Indonesia. Perbedaan ini menjadi kebiasaan yang menradisi setiap tahun. Menjelang Ramadan dan Syawal, pertanyaan kapan berpuasa dan berlebaran selalu muncul, apakah ada perbedaan atau tidak? Demikian pula yang terjadi pada Ramadan 1432 H ini.
Advertisement

Masyarakat banyak menanyakan kapan memulai puasa, apakah Senin Legi, 1 Agustus 2011 atau Selasa Pahing, 2 Agustus 2011? Perbedaan memulai dan mengakhiri puasa sering menjadikan masyarakat bingung, manakah yang harus diikuti? Padahal di negara lain perbedaan semacam ini tidak pernah terjadi, bila mungkin terjadi perbedaan tidak seheboh di Indonesia.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Tulisan ini memaparkan alasan perbedaan dan kondisi 1 Ramadan 1432 H, dengan harapan dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat dan mendewasakan masyarakat manakala terjadi perbedaan dalam memulai dan mengakhiri puasa Ramadhan.

Dalam menetapkan waktu memulai berpuasa dan mengakhirinya, pada dasarnya Rasulullah SAW telah memberikan tuntunan melalui hadis riwayat Bukhari-Muslim yang maknanya “Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah karena melihat hilal, bila tertutup oleh awan maka sempurnakanlah bilangan Syakban menjadi 30 hari.” Satu hadis ini ternyata tak mampu memberikan kesepakatan bersama. Kata “rukyah” yang termaktub dalam hadis ini membuka banyak interpretasi sehingga melahirkan metode-metode yang berbeda dalam penetapan awal bulan Ramadan dan Syawal. Ada yang memahami “rukyah” harus dengan benar-benar melihat (yakni aliran rukyah) dan ada yang memahami “rukyah” cukup dengan memperhitungkan (aliran hisab).

Advertisement

Dalam menetapkan waktu memulai berpuasa dan mengakhirinya, pada dasarnya Rasulullah SAW telah memberikan tuntunan melalui hadis riwayat Bukhari-Muslim yang maknanya “Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah karena melihat hilal, bila tertutup oleh awan maka sempurnakanlah bilangan Syakban menjadi 30 hari.” Satu hadis ini ternyata tak mampu memberikan kesepakatan bersama. Kata “rukyah” yang termaktub dalam hadis ini membuka banyak interpretasi sehingga melahirkan metode-metode yang berbeda dalam penetapan awal bulan Ramadan dan Syawal. Ada yang memahami “rukyah” harus dengan benar-benar melihat (yakni aliran rukyah) dan ada yang memahami “rukyah” cukup dengan memperhitungkan (aliran hisab).

Perbedaan ini menimbulkan dua aliran besar dalam penetapan awal bulan Kamariyah, yaitu aliran hisab wujudul hilal yang cenderung disimbolkan pada Muhammadiyah dan aliran rukyah fi wilayatil hukumi yang disimbolkan pada Nahdlatul Ulama. Pemerintah telah berusaha menyatukan dua aliran tersebut dengan adanya aliran imkanurrukyah (kemungkinan hilal dapat dilihat), namun dalam dataran praktis seringkali aliran ini muncul sebagai mazhab baru di antara dua mazhab tersebut karena dua mazhab di atas masih mendominasi masyarakat.

Aliran
Di Indonesia, bahkan muncul aliran lain yang lebih beragam, seperti aliran rukyatul hilal global yang diusung Hizbut Tahrir, aliran melihat tanda-tanda alam seperti golongan An-Nadir di Gowa, Sulawesi Selatan, aliran perhitungan golek lima seperti yang digunakan Thariqah Naqsabandiyah, aliran kejawen dengan perhitungan Aboge dan Asapon dan sebagainya.

Advertisement

Walhasil, penyatuan awal berpuasa dan saat berlebaran tidak pernah terjadi. Sebenarnya sejak era reformasi, pemerintah berupaya mengedepankan kriteria kebenaran yang objektif ilmiah dalam penentuan awal-akhir Ramadan. Kriteria tersebut berusaha memadukan sains dan teknologi yang sesuai dengan tuntunan syariat sehingga teknologi menjadi pendukung dan penyempurna ibadah. Bila dilihat dalam dataran sains dan teknologi, di Indonesia tradisi ketinggian hilal yang dapat dilihat adalah di atas dua derajat.

Dengan mengumpulkan pakar astronomi, pakar hukum Islam dan pakar hisab-rukyah, pemerintah berupaya memadukan metode hisab dan metode rukyah dalam menentukan awal-akhir Ramadan. Dengan demikian, kiranya masyarakat akan lebih baik dan mantap manakala mengikuti penetapan pemerintah. Penetapan pemerintah diputuskan dalam sidang isbat pemerintah. Selain kemungkinan kebenarannya lebih besar karena diputuskan oleh banyak pakar, kemungkinan kesalahan juga lebih sedikit. Hal ini dapat diibaratkan seperti sebatang kayu besar yang diangkat bersama-sama oleh pakarnya, maka kayu tersebut dapat terangkat dengan mudah. Bayangkan bila kayu tersebut diangkat hanya oleh satu orang.

Serempak
Kondisi hilal pada akhir Syakban 1432 H sangat menentukan kapan Ramadan 1432 H dimulai, karena pelaksanaan rukyah selalu dilakukan saat terbenam matahari pada hari itu. Berdasarkan hasil perhitungan kontemporer, ijtima akhir Syakban 1432 H jatuh pada hari Ahad Kliwon, 31 Juli 2011 pukul 01.40.45 WIB. Ketinggian hilal hakiki pada saat matahari terbenam dari Sabang sampai Merauke sudah berkisar lima derajat sampai 6,30 derajat di atas ufuk.

Advertisement

Berdasarkan perhitungan tersebut, hilal kemungkinan dapat dirukyah (dilihat) karena tradisi hilal di atas dua derajat di Indonesia dapat dilihat. Dengan demikian, ketinggian hilal dalam posisi “aman”. Baik yang mendasarkan hisab murni (Muhammadiyah) atau rukyatul hilal (Nahdlatul Ulama) atau hisab imkanurrukyah (pemerintah), akan serempak menetapkan awal Ramadan 1432 H jatuh pada hari Senin Legi, 1 Agustus 2011.

Namun, ada kemungkinan lain jika pada hari Ahad Kliwon, 31 Juli 2011, tidak ada yang menyatakan melihat hilal, maka Muhammadiyah dengan hisab murni akan tetap mengawali Ramadan pada Senin Legi, 1 Agustus 2011. Sedangkan Nahdlatul Ulama dengan prinsip rukyatul hilal murni akan mengawali Ramadan 1432 H pada hari Selasa Pahing, 2 Agustus 2011.
Namun, jika Nahdlatul Ulama mau merujuk tradisi hilal biasa dapat dilihat di atas dua derajat, tentu akan tetap dapat menetapkan awal Ramadan 1432 H jatuh pada hari Senin Legi, 1 Agustus 2011. Pemerintah dengan prinsip imkanurrukyah, akan tetap memulai Ramadan pada hari Senin Legi, 1 Agustus 2011, mengingat ketinggian hilal sudah jauh di atas imkanurrukyah.

Dengan kemungkinan di atas, kiranya masyarakat akan lebih bijaksana bila menunggu dan mengikuti keputusan pemerintah atau Menteri Agama. Berasas pada maslahat dan objektif ilmiah, pemerintah akan mengambil keputusan yang terbaik, apalagi keputusan tersebut didasarkan pada pemikiran bersama para ahli falak, ahli astronomi dan ahli hukum Islam yang tergabung dalam Badan Hisab Rukyah.

Advertisement

Oleh karena itu, marilah kita tetap menunggu hasil sidang isbat pemerintah awal Ramadan 1432 H yang akan dilaksanakan pada Senin Legi, 1 Agustus 2011, setelah menunggu hasil laporan rukyatul hilal pada saat magrib dari Sabang sampai Merauke. Dengan demikian umat Islam Indonesia akan serempak dalam mengawali ibadah puasa Ramadan 1432 H. Semoga ibadah puasa yang diawali bersama dapat memperkukuh ukhuwah Islamiyah dan memperkuat iman umat Islam Indonesia. Wallahu a’lam bishshowab.

Siti Tatmainul Qulub, Staf Ahli Lembaga Hisab Rukyah Al-Miiqaat Jawa Tengah, Staf Ahli Pengurus Pusat Komunitas Falak Perempuan Indonesia

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif