Kolom
Rabu, 20 Juli 2011 - 12:02 WIB

Pensiun dini bukan penyelesaian

Redaksi Solopos.com  /  R. Bambang Aris Sasangka  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Budiman Widodo (JIBI/SOLOPOS/dok)

Budiman Widodo (JIBI/SOLOPOS/dok)

Ada beberapa berita menarik tentang PNS akhir-akhir ini, yakni gaji ke-13, PNS wajib pakai produk Indonesia, isu pensiun dini bagi PNS, belanja APBD/APBN yang mayoritas terserap oleh PNS/belanja pegawai sehingga mengakibatkan Pemda terancam bangkrut dan moratorium penerimaan CPNS. Tulisan ini hanya akan membahas ihwal pensiun dini bagi PNS.
Advertisement

Meski baru bersifat rencana, namun cukup membuat waswas sebagian PNS. Ada yang berhitung akan mendapat uang pesangon berapa kali gaji jika mengajukan pensiun dini. PNS senantiasa menjadi kartu truf bagi perekonomian negara. Betapa tidak, jumlah PNS saat ini mencapai 4.708.330 orang atau 2.03% dari jumlah penduduk Indonesia. Tentu ini sangat berpengaruh terhadap politik dan ekonomi–menjadi konsumen terbesar (beban APBN mencapai 180 triliun per tahun) dan sisi gengsi (PNS masih menjadi impian sebagaian besar masyarakat Indonesia).

Dilihat dari sisi daya beli, PNS sebanyak itu kontribusinya tentu tidak dapat dipandang sebelah mata. Pendapatan terendah (golongan IA) setara tiga kali upah minimum regional. PNS pasti dilirik kalangan yang berkepentingan. Cara-cara pendekatan yang bersifat instruktif dan sedikit koersif oleh atasan relatif berjalan tanpa reserve. Mengapa gerakan membeli produk Indonesia harus diawali oleh PNS? Dengan asumsi pendapatan yang relatif stabil, PNS mampu menjadi motor penggerak berbagai hal.

Advertisement

Dilihat dari sisi daya beli, PNS sebanyak itu kontribusinya tentu tidak dapat dipandang sebelah mata. Pendapatan terendah (golongan IA) setara tiga kali upah minimum regional. PNS pasti dilirik kalangan yang berkepentingan. Cara-cara pendekatan yang bersifat instruktif dan sedikit koersif oleh atasan relatif berjalan tanpa reserve. Mengapa gerakan membeli produk Indonesia harus diawali oleh PNS? Dengan asumsi pendapatan yang relatif stabil, PNS mampu menjadi motor penggerak berbagai hal.

Asumsi PNS tidak pada posisi marginal secara matematis dapat diterima, namun PNS harus menanggung beban biaya sosial yang cukup tinggi. Status sosial yang cukup terpandang menempatkan para PNS berkebutuhan sosial yang tinggi dan harus memikirkan biaya pendidikan anak hingga perguruan tinggi. Tingginya biaya hidup PNS tanpa penghasilan tambahan karena terikat etika maupun keterbatasan waktu, menjadikan posisi PNS cukup dilematis.

Apalagi secara riil penghasilan yang diperoleh PNS tidak mencukupi kebutuhan. Banyak di antara PNS yang memanfaatkan lembaga kredit. Banyak PNS terbelit utang dengan jaminan surat keputusan (SK) pengangkatan sebagai PNS. Kondisi ini tentu berdampak pada kinerja mereka. Dalam kondisi demikian, harapan tertumpu pada gaji ke-13 untuk membayar angsuran utang atau biaya tahun ajaran baru sekolah.

Advertisement

Kompetisi pegawai cenderung mengejar posisi jabatan struktural dan kompetisi ini menjadi ciri khas kebanyakan PNS. Semangat mengejar jabatan yang tidak didasarkan pada kinerja, bahkan faktor kedekatan politis, akhir-akhir ini sangat dominan. Ini menjadikan PNS bersikap apatis. Mengubah mental dan kinerja PNS bukan perkara mudah dan memerlukan proses panjang. Dibutuhkan figur pemimpin berwawasan luas dan berani.

Sistem reward and punishment jarang sekali diterapkan. Ini mejadikan pegawai hanya standar (minimal), sekadar memenuhi kewajiban jam kerja, normatif dan rutin. Mengubah pola pikir PNS sebagaimana yang dikembangkan di perusahaan-perusahaan swasta dan badan usaha milik negara dengan sistem kontrak banyak mendapatkan perlawanan. Cara itu dipandang tidak manusiawi dan kurang menjamin kepastian penghidupan.

Hambatan birokrasi seperti yang dikemukakan Weber, yang bersifat hierarkis prosedural dan rutinitas, amat kental mewarnai sistem kepegawaian. Orientasi yang bersifat senioritas daripada sistem karier menjadikan sistem ini efektif, namun tidak efisien karena tidak berorientasi pada hasil. Tidak efisiennya PNS ditandai jumlah PNS yang terlalu banyak. Meski dikatakan rasio PNS dan jumlah penduduk Indonesia masih di bawah negara lain, yaitu hanya 1,98%–di negara lain 2,1%–namun secara kualitas, persentase kinerja pegawai dengan ukuran produktivitas dan inovasi masih jauh dari harapan.

Advertisement

Kebijakan
Kebijakan kepegawaian di Indonesia mengacu pada pertumbuhan nol (zero growth), bahkan disarankan minus. Artinya rekrutmen PNS baru sama dengan jumlah PNS pensiun atau justru minus. Namun, dalam praktik terjadi kontradiksi karena perpanjangan usia pensiun mencapai 60 tahun untuk guru dan 65 tahun untuk dosen. Untuk guru terjadi penambahan batas usia pensiun 56 tahun menjadi 60 tahun.

Selama rentang waktu empat tahun mundurnya usia pensiun guru, tidak diikuti penghentian rekrutmen guru baru. Yang terjadi adalah peningkatan jumlah guru yang signifikan selama empat tahun sejak diberlakukannya perpanjangan usia guru menjadi 60 tahun. Rasio jumlah guru dibandingkan PNS non guru menjadi makin tinggi. Pengangkatan PNS yang bersifat massal (kolektif ) menjadi model rekrutmen belakangan ini. Misalnya pengangkatan Sekdes menjadi PNS–sebelumnya kebijakan ini tidak ada–tentu menambah jumlah PNS secara signifikan. Bila rekutmen ini terus diberlakukan akan memunculkan tuntutan dari kelompok-kelompok profesi lain agar diperlakukan sama, seperti perangkat desa, bekas anggota Kamra, guru-guru swasta dan lain-lain. Kebijakan zero growth PNS jelas tak berjalan efektif. Sejauh mana anggaran negara mampu mencakup kenaikan jumlah PNS yang pada saat ini sudah menyedot rata-rata 70% dari DAU kabupaten/kota?

Kebijakan untuk menempatkan PNS sesuai kebutuhan merupakan hal yang rumit dan kompleks. Berbagai kepentingan campur aduk menjadi satu. Karut-marut wajah PNS kian menambah daftar beban anggaran pemerintah.Untuk memecahkan masalah ini tidak bisa dilakukan secara sewenang-wenang, harus melalui pemikiran yang matang, karena PNS juga seorang manusia. Alternatif solusi pensiun dini perlu kajian yang amat mendalam dan perlu dilakukan secara komprehensif.
Di satu sisi ada pemikiran untuk mengurangi beban anggaran negara melalui pensiun dini, namun di lain pihak kebijakan rekrutmen PNS baru justru melebihi (plus) dari yang pensiun. Artinya beban anggaran tidak terpecahkan. Kita juga dihadapkan pada pengangguran yang terus meningkat, sedang sektor swasta belum sepenuhnya menyerap angkatan kerja. Besarnya angkatan kerja terdidik lulusan perguruan tinggi terus meningkat, mencapai 750.000 orang yang tidak terserap di pekerjaan formal.

Advertisement

Apabila kebijakan pensiun dini dilakukan, penghitungan beban anggaran yang harus dikeluarkan negara untuk pesangon tidak sedikit. Aturan yang menjadi dasar pemberian pesangon harus mengacu pada keadilan. Persoalan jangka pendek saat ini adalah kemampuan anggaran yang terbatas. Dengan komposisi anggaran yang terserap untuk belanja pegawai mencapai 70% membuat anggaran untuk prasarana kian sedikit. Bila program pensiun dini diberlakukan pada PNS akan berujung dana besar yang harus disiapkan. Dikhawatirkan program pensiun dini mubazir bila kebijakan rekrutmen PNS baru terus dilakukan tanpa memperhitungkan function orientation dan sizing orentation.

Kebijakan pertumbuhan nol adalah langkah yang realistis karena rekrutmen pegawai tetap dilakukan untuk mengurangi jumlah angkatan kerja. Model yang ditetapkan sektor swasta dengan konsep keluar masuknya pegawai baru (turn over) dalam skala terbatas perlu dicoba. Rekrutmen pegawai baru tetap memperhatikan aspek profesionalitas, di samping pendayagunaan PNS yang ada secara maksimal.

Solusi pensiun dini bagi PNS tidak akan menyelesaikan akar persoalan anggaran. Yang perlu dilakukan adalah meningkatkan kualitas SDM PNS dalam menjalankan fungsi pelayanan publik. Kemudian menghindari rekrutmen yang bersifat darurat dan massal. Seleksi PNS baru harus mengarah pada profesionalisme dan perbaikan kinerja. Perbaikan sistem kepegawaian yang berorientasi pada hasil (result orientation) akan impas dengan anggaran untuk menggaji PNS. Persoalan PNS tidak semata-mata belanja pegawai, namun mencakup aspek yang jauh lebih luas yang menyangkut kehidupan berbangsa dan bernegara.

Budiman Widodo, Dosen STIA ASMI Solo, Peserta program doktor Universitas Brawijaya

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif