Tokoh
Sabtu, 16 Juli 2011 - 23:40 WIB

Drs Soedarmono SU, pantang menyerah selamatkan benda cagar budaya

Redaksi Solopos.com  /  R. Bambang Aris Sasangka  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - (JIBI/SOLOPOS/dok)

Bicara soal benda cagar budaya, jangan diragukan lagi ketegasan sikap Drs Soedarmono SU. Nama dosen Jurusan Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Solo ini belakangan jadi bahan perbincangan lantaran sikap tegasnya terkait nasib bekas Pabrik Es Saripetojo di Purwosari, Solo, yang hendak dirobohkan dan diganti menjadi mal. Dia bahkan mengundurkan diri dari tim pengkaji bentukan Pemprov Jateng karena merasa dikhianati dan hendak disuap.

Drs Soedarmono SU (JIBI/SOLOPOS/dok)

Advertisement
Dia juga tak setuju dengan kajian tim yang beranggotakan sejumah pakar dari Undip, UGM dan UNS serta BP3 itu, palagai saat salah satu rekomendasi tim menyebut Saripetojo tak layak disebut bangunan cagar budaya (BCB). Keakuratan data dalam kajian sejarah menurutnya, adalah pegangan utama untuk menentukan apakah suatu benda disebut bangunan cagar budaya atau bukan. Keputusan yang diambil oleh Tim Independen terlalu dini, sementara penilaian terhadap kajian sejarah dan heritage dianggap tidak ada sama sekali.

Ini bukan kali pertama Pak Dar, panggilan akrabnya, memilih mundur kala dirinya didapuk sebagai tim pengkaji sejarah. Sebelumnya, dia memutuskan untuk tidak terlibat lebih jauh dalam tim kelayakan benda cagar budaya Benteng Vastenburg. Hal itu dilakukannya bukan lantaran dia tidak mampu melaksanakan tugas tetapi lebih pada rasa cintanya kepada Kota Solo yang banyak memiliki benda cagar budaya. Dia menuturkan, kala itu, di lokasi benteng peninggalan Belanda yang dibangun pada 1745 atas perintah Gubernur Jenderal Baron Van Imhoff, akan dibangun hotel berlantai 16. Saat mengetahui slide paparan dari pihak pengembang hotel, dia geram dan bersikeras untuk menolak.

“Saat itu saya diminta untuk mundur saja daripada mengganggu rencana besar itu. Sebelum diminta, saya pilih mundur,” papar Pak Dar, demikian dia biasa disapa mahasiswa maupun koleganya. Menurutnya melegalkan rencana itu sama halnya menghilangkan jejak sejarah, kajian mengenai lingkungan dan sejarah yang masuk dalam agenda dinilainya hanya akal-akalan. Mata Pak Dar memang awas menelisik hal-hal janggal termasuk soal kasus raibnya benda-benda bersejarah di Museum Radyapustaka. Dia pun mengeluarkan kritik pedas soal Radya Pustaka.

Advertisement

Mampu memberikan solusi dan pertimbangan terhadap suatu kasus tak membuat perjalanannya lancar. Dalam kasus Saripetojo, dia justru merasa ditelikung lantaran tak dilibatkan dalam dua agenda yang seharusnya dirinya hadir. Tak ada undangan atau dering telepon yang membawa kabar agenda pembahasan Saripetojo, setelah Tim Independen dibentuk. Pak Dar sebelumnya juga telah mengabarkan akan bertolak ke Jakarta pada 4-8 Juli. Namun tak disangkanya, perumusan hasil akhir itu tetap berjalan tanpa kehadirannya. “Tahu-tahu saya disodori dua kali daftar hadir agenda oleh seorang utusan, dia minta saya tanda tangan,” ungkapnya.

Soedarmono merasa kajian sejarah dalam persoalan ini belum tersentuh sama sekali. Namun, berkas yang diyakininya sebagai kunci utama Saripetojo telah dipegang orang pertama di Kota Solo. Kehadiran Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Bidang Pendidikan dan Kebudayaan, Meutia Hatta Swasono, beberapa waktu lalu, di Kota Bengawan diharapkannya membawa pencerahan kala persoalan ini dibahas di Istana.

“Saya tidak rela saja kota saya jadi karut-marut. Sudah jelas ada buktinya, masih saja tidak dianggap,” jelas dia.
Dia mengakui ada banyak kepentingan yang menjadi latar belakang persoalan ini, untuk mengurainya mereka yang berkecimpung harus dapat melepaskan dari kepentingan pribadi. Berbicara soal sejarah berarti hal itu berdasar dari kumpulan arsip dan studi lingkungan sosial, jangan dibelok-belokkan. “Semua sudah ada data dan arsipnya, silakan dikaji juga lingkungan sosialnya.”

Advertisement

Persoalan ini menjadi pembelajaran bagi peneliti dan sejarawan muda. Sebagai dosen Sejarah, dia sedari awal menjaga idealismenya kala menjumpai kerumitan persoalan yang sarat kepentingan. Dia mengajak anak didiknya untuk terjun ke lapangan serta berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Bukan hanya berkutat pada arsip dan data tapi juga keahlian menelaah. “Keahlian menelaah itu karena sudah terbiasa menghadapi persoalan, itulah yang saya kenalkan kepada mahasiswa saya,” jelasnya.

Dina Ananti Sawitri Setyani

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif