Kolom
Senin, 4 Juli 2011 - 12:03 WIB

Mereka bertanya tentang Jokowi

Redaksi Solopos.com  /  Nadhiroh  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Suwarmin

“Halo Solo, halo Pak Jokowi…” Itu sapaan seorang teman wartawan saat bertemu dengan saya di sebuah acara media gathering di Singapura, pekan kemarin.

Advertisement

Saya tertawa. Tentu saja saya bukan Jokowi (baca: Walikota Solo Joko Widodo yang akrab disapa Jokowi), tapi tentu terserah dia jika bertemu orang dari Solo, lalu serta merta mengaitkan nama Solo dengan Jokowi. Kebetulan saya menjadi satu-satunya wakil media Solo dalam acara itu.

“Ada apa sih kok para pedagang pasar di Solo ramai-ramai mbelain dia?,” tanya teman itu. “Ada apa sih dia dengan Gubernur Jateng?”

“Denger-denger mau dicalonin jadi Gubernur DKI ya sama PDIP,” teman yang lain nimbrung.

Advertisement

Maka sejenak kami ngobrol tentang Jokowi, lantas mereka membanding-bandingkan dengan walikota di kota masing-masing. Mereka juga bertanya tentang berita Jokowi yang katanya tidak pernah mengambil gaji, atau Jokowi yang beberapa kali tampil di televisi nasional, dan lain-lain.

Saya menjawab sebagaimana mestinya semua pertanyaan itu. Sebenarnya saya juga ingin mendengar mereka bertanya tentang acara Solo Batik Carnival> (SBC) edisi keempat yang belum lama berlalu. Tetapi tak ada pertanyaan tentang itu, maka sebagai orang kampung Solo di tengah metropolisnya Singapura, saya pun bercerita,

“Kemarin Pak Jokowi barusan bikin Solo Batik Carnival. Ini yang keempat kalinya. Tahun ini temanya legenda Jawa. Keren loh,” kata saya.

Barulah mereka bertanya-tanya tentang acara itu, tentang batik, dan lain-lain. Sebagian sudah melihat acara itu melalui televisi, yang lain penasaran ingin menonton karnaval itu tahun depan.

Advertisement

“Saya berkali-kali ke Jogja, tapi belum pernah ke Solo. Nanti deh saya main,” kata teman dari majalah perempuan.

Omongan kawan yang satu ini sekaligus menunjukkan Kota Jogja masih menjadi rujukan berlibur di atas posisi Kota Solo. Setidaknya, saya ingin berterima kasih kepada Jokowi karena membuat Solo lebih sering dibicarakan orang.

Nama Jokowi sepertinya mulai dibicarakan sejak kirab pemindahan PKL Banjarsari ke Pasar Notoharjo. Belakangan, melalui SBC, Solo International Ethnic Music (SIEM) atau Solo International Performing Art (SIPA) yang baru saja berakhir.

Dia juga sering membuat program yang iconic, yang eye catching seperti Sepur Kluthuk Jaladara, bus tumpuk Werkudara, kereta kencana dan lain-lain. Di luar itu, dia juga dikenal sregep, bregas dan cak-cek untuk urusan pekerjaan, gupuh, aruh dan wanuh untuk urusan kemasyarakatan, grapyak, semanak, tur ora galak kepada bawahan.

Advertisement

Mungkin karena faktor itu semua, nama Jokowi mulai diusulkan untuk menempati jabatan lebih tinggi. Berita di Koran Tempo yang memuat pernyataan Gubernur Jateng Bibit Waluyo yang menyebut “Walikota Solo itu bodoh” menjadi katarsis yang mengentalkan bangun pencitraan Jokowi.

Para anggota Jokowi fans club mestinya “berterima kasih” kepada Gubernur Jateng untuk urusan ini. Gara-gara dibodho-bodhokke oleh Pak Gubernur terkait kontroversi pembangunan mal di bekas Pabrik Es Saripetojo, nama Jokowi makin ndedel, naik.

Orang jadi kepikiran, bisa jadi kelak Jokowi akan menjadi gubernur Jateng, atau gubernur DKI, atau menjadi menteri atau yang lain. Gilanya, di twitter, facebook, blog atau news media lainnya, sudah ada yang menyebutnya layak menjadi presiden.

Apresiasi dari Surabaya

Advertisement

Jokowi sendiri, dalam beberapa kesempatan, terlihat tidak bersemangat membicarakan berbagai kemungkinan itu. Menjelang Pilkada Solo 2009 yang mengantarnya memimpin Solo untuk kali kedua, Jokowi juga mengaku tidak terlalu yakin apakah dirinya akan maju nyalon walikota lagi. Jokowi masih seperti itu.

Belum lama, seorang teman di radio Suara Surabaya (SS) meminta nomor kontak Jokowi. “Banyak pendengar kami di sini memberi apresiasi positif ke dia,” kata teman dari SS.

Naiknya pamor Jokowi sekaligus bisa menjadi pelajaran bagi pemimpin daerah lain untuk melakukan pekerjaan eksekutif secara baik, cerdas, produktif dan bisa memberdayakan masyarakatnya.

Jika mau, bupati atau walikota daerah lain bisa jadi akan lebih hebat dari Jokowi. Kawan di facebook mengingatkan bahwa mungkin masih banyak orang Solo yang lebih baik dari Jokowi dalam mengelola kota ini, karena apa yang dilakukan Jokowi diharapkan bisa memotivasi penerusnya kelak.

Jokowi sendiri tidak selalu mulus mengelola Solo. Sampai saat ini urusan pedagang kaki lima (PKL) belum benar-benar selesai. Para pengritik Jokowi juga menilai di era Jokowi pembangunan Solo sebatas etalase, belum sampai pada penguatan kampung-kampung di pedalaman Solo.

Pernak-pernik kemajuan Solo juga dituding sekadar mencomot berbagai hal yang bagus di luar negeri lalu ditempelkan di Solo, tanpa mempertimbangkan keberlanjutannya, dan lain sebagainya. Lalu apakah benar di era Jokowi-Rudy pemerintahan Solo benar-benar seperti slogannya yang terkenal, Berseri Tanpa Korupsi?

Advertisement

Tetapi eloknya, Jokowi menerima semua kritik itu dengan terbuka, kalau perlu memfasilitasi evaluasi atas program-programnya. Dengan segala kekurangannya, dia masih pemimpin yang lembah manah, bukan pemimpin yang pemarah.

(Suwarmin, Wartawan SOLOPOS)

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif