Kolom
Kamis, 14 April 2011 - 18:02 WIB

Wajah suram dunia penyiaran

Redaksi Solopos.com  /  Mulyanto Utomo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Suwarmin Wartawan SOLOPOS

Peringatan Hari Penyiaran Nasional (Harsiarnas) 1 April lalu, yang diperingati di Solo, memberi kesan kuat betapa wajah dunia penyiaran kita sangat amburadul.

Advertisement

Bukan hanya persoalan konten namun juga regulasi yang banyak diabaikan. Negara juga terlihat tidak berpihak kepada media kecil milik masyarakat atau dalam hal ini disebut media komunitas, baik televisi maupun radio.

Dalam hal konten misalnya, sudah terlalu sering kita mendengar orang ngrasani kualitas sinetron kita yang hampir selalu menampakkan kemewahan, dendam dan kebencian, rebutan warisan atau konflik antara si kaya dan si miskin. Tak sedikit dari kita menyebut tayangan sinetron sebagai sampah. Tapi lucunya, dengan karakter seperti itu, sinetron kita terus eksis dan banyak diminati sebagian masyarakat lainnya, bahkan diputar di negara serumpun seperti Brunei, Singapura atau Malaysia.

Advertisement

Dalam hal konten misalnya, sudah terlalu sering kita mendengar orang ngrasani kualitas sinetron kita yang hampir selalu menampakkan kemewahan, dendam dan kebencian, rebutan warisan atau konflik antara si kaya dan si miskin. Tak sedikit dari kita menyebut tayangan sinetron sebagai sampah. Tapi lucunya, dengan karakter seperti itu, sinetron kita terus eksis dan banyak diminati sebagian masyarakat lainnya, bahkan diputar di negara serumpun seperti Brunei, Singapura atau Malaysia.

Jika tayangan sinetron adalah sampah, mestinya orang melirik sajian berita di televisi. Tapi apa lacur, sajian berita di televisi juga sudah ditunggangi kepentingan si pemilik televisi. Ironis. Bagaimana tidak, jika si pemilik televisi telah berkepentingan karena dia juga seorang politisi maka televisi miliknya akan menjadi alat propaganda yang tiada habis-habisnya. Dulu ketika Surya Paloh dan Aburizal Bakrie berebut tampuk pimpinan Partai Golkar, Metro TV milik Surya Paloh dan TVOne plus ANTV milik Aburizal Bakrie, bersaing saling mengangkat posisi sang pemilik. Kini ketika Surya Paloh mutung dari Golkar dan mendirikan Nasional Demokrat (Nasdem), Metro TV menjadi corong utama Nasdem dalam setiap hajatan yang digelar. Bahkan mungkin, lama-lama orang menjadi mafhum.

“Yah maklum, namanya juga yang punya televisi,” kata seorang kawan.

Advertisement

Jadi, sekarang atau nanti, atau pada masa-masa mendatang, jangan salahkan jika opini masyarakat kita sudah terkonstruksi sesuai dengan arahan para politisi pemilik televisi. Negara, mestinya mengambil peranan untuk mengatur situasi ini, agar hak publik untuk mendapatkan berita yang fair dan objektif tidak diabaikan. Perlu diingat bahwa televisi bersiaran dengan menggunakan spektrum frekuensi radio. Dalam UU Penyiaran No 32/2002, disebutkan “spektrum frekuensi radio adalah gelombang elektromagnetik yang dipergunakan untuk penyiaran dan merambat di udara serta ruang angkasa tanpa sarana penghantar buatan, merupakan ranah publik dan sumber daya alam terbatas”.

Dalam hal siaran yang memihak, sudah jelas bertentangan dengan UU yang menggariskan adanya “tatanan informasi nasional yang adil, merata dan seimbang adalah kondisi informasi yang tertib, teratur dan harmonis terutama mengenai arus informasi atau pesan dalam penyiaran antara pusat dan daerah, antarwilayah di Indonesia serta antara Indonesia dan dunia internasional”.

Atau negara setidaknya lebih serius membesarkan Lembaga Penyiaran Publik (LPP) TVRI agar mampu bersiaran lebih bagus dan mampu bersaing dengan televisi swasta. Dengan siaran yang sepenuhnya didanai negara, LPP mestinya bisa menjadi penyeimbang masyarakat di tengah karut-marut siaran televisi yang ditunggangi kepentingan pemiliknya.

Advertisement

Sayangnya, tren televisi menjadi corong suara pemilik ini akan semakin kentara pada masa mendatang, mengingat sekarang ini stasiun televisi swasta hanya mengelompok menjadi milik segelintir pengusaha. UU jelas-jelas melarang praktik monopoli kepemilikan media namun seperti halnya perkara lain di negeri ini, UU menggonggong, bisnis tetap melaju. Grup MNC milik pengusaha Hari Tanoesoedibjo telah menggenggam MNC TV (dulu TPI), RCTI dan Global TV. Aburizal Bakrie memiliki ANTV dan TVOne, bos Para Group Chairul Tanjung mengoleksi Trans Corp yang punya Trans TV dam Trans 7 dan kini santer dikabarkan SCTV akan menggandeng Indosiar.

Di tengah ingar-bingar dunia televisi seperti itu, media komunitas, baik televisi maupun radio, yang jelas diatur porsinya dalam UU, seperti pelanduk yang mati di tengah-tengah, di antara gajah yang bertarung, sementara negara, tidak menyiapkan regulasi yang menghidupi media komunitas.

Pada Jumat (1/4) lalu, di Solo, beberapa jam setelah Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring menjelaskan bahwa era televisi analog di Indonesia akan berakhir pada tahun 2017 dan digantikan dengan televisi digital, puluhan pengelola radio komunitas di Solo dan sekitarnya hanya bisa berkeluh kesah di Balai Soedjatmoko. Mereka mengeluhkan media komunitas tidak diberi ruang yang layak untuk hidup. Menurut mereka, sebagai media nonkomersial milik masyarakat, media komunitas mestinya diberi kemudahan dalam perizinan, diberi akses untuk mendapatkan dana yang memadai dan didukung untuk menjadi media pemberdaya bagi masyarakat di lingkungannya. Namun, yang terjadi, media komunitas menjadi hidup segan mati tak mau karena selain minim modal, juga tak punya akses pendapatan yang memadai selain iuran para anggota.

Advertisement

Jadi, negara seolah-olah tidak hadir di tengah karut-marutnya dunia penyiaran kita. Maka, yang terjadi biarlah terjadi. Yang monopoli biarkan semakin menjadi-jadi dan yang mati biarlah mencari jalannya sendiri.

Suwarmin
Wartawan SOLOPOS

Advertisement
Kata Kunci : KOLOM WARMIN
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif