News
Kamis, 14 April 2011 - 12:13 WIB

Rosihan Anwar, 'A Footnote of History' telah menutup kisahnya

Redaksi Solopos.com  /  Nadhiroh  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Jakarta (Solopos.com)–Nama Rosihan Anwar begitu melegenda di dunia jurnalistik. Namanya juga dikenal dalam dunia budaya dan sastra.

Julukan ‘A footnote of history’ pernah dilekatkan pada sosoknya. Di usia 89 tahun, sang catatan kaki sejarah itu menutup sejarah hidupnya.

Advertisement

Rosihan lahir di Kubang Nan Dua, Solok, Sumatera Barat, pada 10 Mei 1922. Dia merupakan sosok di segala zaman. Bagaimana tidak, sejak era kolonial hingga pasca reformasi, pria yang akrab disapa Pak Ros ini aktif menulis.

Dalam sebuah wawancaranya dengan harian The Jakarta Post, Pak Ros memang sempat berujar, “Saya akan terus menulis dan berhenti saat mati.”

Advertisement

Dalam sebuah wawancaranya dengan harian The Jakarta Post, Pak Ros memang sempat berujar, “Saya akan terus menulis dan berhenti saat mati.”

Karier jurnalistiknya dimulainya saat berusia 20 tahun. Hingga kini, tak kurang dari 20 judul buku dan ratusan artikel karyanya menghiasi koran dan majalah Tanah Air dan bahkan penerbitan asing.

Pak Ros pernah menempuh pendidikan di sekolah rakyat (HIS) dan SMP (MULO) di Padang. Pendidikannya kemudian diteruskan ke AMS di Yogyakarta. Rosihan juga mengikuti berbagai workshop di dalam dan di luar negeri.

Advertisement

Dari wikipedia, Rosihan memulai karier jurnalistiknya sebagai reporter Asia Raya di masa pendudukan Jepang tahun 1943 hingga menjadi pemimpin redaksi Siasat (1947-1957) dan Pedoman (1948-1961). Di masa penjajahan, Rosihan pernah disekap kolonial Belanda di Bukitduri, Jakarta Selatan.

Sedangkan di masa Orde Lama, koran miliknya yang bertajuk ‘Pedoman’ ditutup oleh rezim saat itu di tahun 1961. Saat Orde Baru, Rosihan pernah mendapat anugerah Bintang Mahaputra III, bersama tokoh pers Jakob Oetama.

Sayangnya, kurang dari setahun sejak mendapat penghargaan itu, rezim Orde Baru menutup ‘Pedoman’ di tahun 1974.

Advertisement

Anak keempat dari sepuluh bersaudara putra Anwar Maharaja Sutan yang merupakan seorang demang di Padang, Sumatera Barat ini menjabat Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) selama 6 tahun, sejak 1968.

Dia pun pernah berkecimpung di dunia film, dengan mendirikan Perusahaan Film Nasional (Perfini) pada 1950 bersama Usmar Ismail.

Dunia aktor pernah dicicipinya dengan bermain sebagai figuran dalam film Darah dan Doa. Rosihan juga sempat menjadi produser film Terimalah Laguku.

Advertisement

Di dunia penulisan buku, Sejarah Kecil (Petite Histoire) Indonesia Jilid IV menjadi buku terakhir yang ditulisnya.

Rosihan juga gemar menulis puisi. Puisinya banyak dimuat di surat kabar Asia Raya, Merdeka, dan majalah mingguan politik dan budaya Siasat.

Salah satu puisi yang dikenal masyarakat luas adalah puisi tentang melawan korupsi. “Aku Tidak Malu Jadi Orang Indonesia. Biar orang bilang apa saja, biar, biar. Indonesia negara paling korup di dunia. Indonesia negara gagal. Indonesia negara lemah. Indonesia melanggar HAM,” demikian petikan puisi itu.

“Sorry ya, aku tidak malu jadi orang Indonesia,” ucap Rosihan dalam puisinya itu. Dan Kamis (14/4/2011), pria yang oleh S Tasrif, SH, seorang tokoh pers dan ahli hukum senior, dijuluki ‘A footnote of history’ (sebuah catatan kaki dalam sejarah) sudah pergi dan tidak akan kembali.

Rosihan menutup mata di usia 89 tahun. Dia meninggalkan 3 anak hasil pernikahannya dengan Siti Zuraidah Binti Moh Sanawi yang telah terlebih dahulu menghadap Sang Khalik.

Meski begitu, Rosihan akan tetap ‘hidup’ melalui catatan-catatan karya sepanjang hidupnya. Ya, sebab sejarah negeri ini pernah diabadikannya dalam tulisan.

Selamat jalan, Pak Ros!

(Detikcom/nad)

Advertisement
Kata Kunci : Rosihan Anwar
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif