News
Kamis, 17 Maret 2011 - 07:31 WIB

Wall Street jatuh kian dalam akibat krisis nuklir Jepang

Redaksi Solopos.com  /  Triyono  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

New York (Solopos.com) — Bursa Wall Street mengalami kejatuhan dengan indeks S&P dan Nasdaq untuk pertama kalinya mencatat minus untuk pergerakan sepanjang tahun ini. Investor melakukan aksi jual hebat karena khawatir krisis nuklir Jepang akan berkepanjangan.

Indeks Dow Jones juga ditutup nyaris mendekati level penutupan tahun 2010, dengan indeks volatilitas melonjak tajam sehingga menggambarkan pasar masih terus bergejolak dan kemungkinan menghadapi pelemahan lanjutan dalam jangka pendek.

Advertisement

Kejatuhan pasar terjadi setelah komisi energi Uni Eropa mengatakan kemungkinan terjadinya bencana hebat dalam beberapa jam ke depan yang dapat mengancam kehidupan di Jepang. Ketidakpastian krisis nuklir di Jepang juga membuat investor mencari tempat investasi yang aman.

Pada perdagangan Rabu (16/3/2011), indeks Dow Jones industrial average (DJIA) merosot hingga 242,12 poin (2,42%) ke level 11.613,30. Indeks Standard & Poor’s 500 juga melemah 24,99 poin (1,95%) ke level 1.256,88 dan Nasdaq merosot 50,51 poin (1,89%) ke level 2.616,82.

Kejatuhan Wall Street terjadi dalam volume perdagangan yang cukup besar, dengan transaksi di New York Stock Exchanga mencapai 11,1 miliar lembar saham, jauh di atas rata-rata tahun lalu yang mencapai 8,47 miliar.

Advertisement

“Volume perdagangan menunjukkan banyak perdagangan berkaitan dengan kepanikan dan secepatnya para pembeli akan menyadari bahwa tidak ada dasar untuk pergerakan,” ujar Komal Sri-Kumar, analis dari TCW Group Inc seperti dikutip dari Reuters, Kamis (17/3/2011).

Saham-saham yang berkaitan dengan nuklir anjlok, karena investor krisis nuklir akan memangkas pertumbuhan industri tersebut. Saham Cameco Corp anjlok 9%, Shaw Group turun 3,8%, dengan volume perdagangan mencapai 10 kali lipat. Global X Uranium ETF merosot 6,6%.

“Kami tidak merekomendasikan pembelian saham-saham uranium,” ujar Joshua Brown, vice president dari Fusion Analytics.

Advertisement

(dtc/try)

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif