Pembeli pun menggangguk dan cepat-cepat berlalu untuk mencari tempat duduk di pojok warung, kemudian makan dengan lahap.
Perkara sambal kini memang menjadi problem utama para pemilik dan pengelola warung makan, macam Narti. Semua gara-gara harga cabai yang meroket, melebihi 100%. Narti yang biasanya hanya perlu merogoh kocek Rp 30.000-Rp 35.000 untuk mendapatkan 1 kilogram (kg) cabai rawit merah, kini dia harus rela mengeluarkan uang Rp 75.000.
“Harga cabai sekarang lebih mahal daripada daging, yang cuma Rp 55.000,” sambung pemilik warung yang berusia 38 tahun itu.
Sambil melanjutkan aktivias melayani pembeli yang kembali datang, Narti menuturkan, kenaikan harga cabai membuat biaya operasional warung makan miliknya di kawasan Kliteh, Sragen Tengah, membengkak. Demi membuat usaha jual makanan matang yang dia kelola jalan terus, Narti pun harus putar otak. Kini, konsumsi cabai yang sebelumnya bisa mencapai 1,5 kg/hari ditekan menjadi hanya 1 kg/hari. Alhasil, sejumlah makanan, seperti bumbu pecel dan tumpang, berkurang tingkat kepedasannya.
Lantas soal sambal, Narti memberlakukan aturan yang cukup ekstrim, yaitu memberi biaya tambahan jika pembeli menginginkan tambah sambal. Nilanya dipatok Rp 1.000/sendok makan sambal atau Rp 500/satu sendok teh sambal. “Semua sudah diberi sambal. Tapi kalau mau nambah, saya kasih tambahan juga. Rp 500 untuk satu sendok teh, Rp 1.000 untuk satu sendok makan. Kalau tidak begitu saya bisa bangkrut,” ujarnya.
Ya, awal tahun 2011 memang bak tahun kelabu bagi Yu Narti. Bukan hanya lantaran cuaca kerap didominasi hujan, sehingga jumlah pengunjung susut, namun juga lantaran harga cabai melambung. Narti harus pandai-pandai menghemat biaya operasional jika ingin usaha tetap berjalan. Tak hanya itu, terkait hal ini, dia pun memiliki pekerjaan tambahan untuk memberi pengertian pada pembeli, perihal tambahan biaya jika pembeli nambah sambal.
tsa