Kolom
Senin, 3 Januari 2011 - 19:47 WIB

Menjadikan 2011 sebagai tahun reindustrialisasi

Redaksi Solopos.com  /  Mulyanto Utomo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Gejala deindustrialisasi di Indonesia terlihat semakin kasatmata dalam beberapa tahun terakhir. Indikator deindustrialisasi ini dapat dilihat dari melemahnya kontribusi sektor industri manufaktur terhadap ekonomi, menurunnya angka pertumbuhan industri itu sendiri, penyusutan angka pertumbuhan ekspor dan lesunya penyerapan tenaga kerja.

Padahal, selain sektor pertanian, industri manufaktur di negeri ini masih merupakan andalan ekonomi berbasis padat karya yang mempunyai dampak signifikan terhadap angka pengangguran. Semakin menurun kontribusi kedua sektor itu pada perekonomian nasional, berarti semakin langka lapangan pekerjaan yang tersedia. Walhasil, angka pengangguran dipastikan meningkat karenanya.

Advertisement

Berbagai indikator penurunan tersebut tentu saja menjadi masalah fundamental bagi perekonomian Indonesia, mengingat kinerja sektor manufaktur sejak 2004 terus melemah. Pada 2004, sumbangan industri manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 28,37% dan secara konsisten mengalami penurunan menjadi 28,08% (2005); 27,83% (2006); 27,39% (2007); 26,79% (2008); 26,16% (2009) dan diperkirakan hanya 25,7% pada 2010.

Kondisi tersebut jelas berpengaruh pada penyerapan tenaga kerja yang pada periode 2004-2009 menunjukkan gejala mendatar. Indikator lain berupa peningkatan importasi produk manufaktur juga terlihat signifikan, terutama barang modal dan—belakangan ini—produk konsumsi, termasuk di antaranya makanan dan minuman. Kelemahan industri domestik untuk menghasilkan barang modal di dalam negeri menjadikan ketergantungan impor yang kian besar. Bukan hanya permesinan dan alat produksi lainnya, bahan penolong pun kini lebih banyak diimpor seperti gula rafinasi dan garam beriodium, mengingat pasokan dari dalam negeri tidak mencukupi.

Advertisement

Kondisi tersebut jelas berpengaruh pada penyerapan tenaga kerja yang pada periode 2004-2009 menunjukkan gejala mendatar. Indikator lain berupa peningkatan importasi produk manufaktur juga terlihat signifikan, terutama barang modal dan—belakangan ini—produk konsumsi, termasuk di antaranya makanan dan minuman. Kelemahan industri domestik untuk menghasilkan barang modal di dalam negeri menjadikan ketergantungan impor yang kian besar. Bukan hanya permesinan dan alat produksi lainnya, bahan penolong pun kini lebih banyak diimpor seperti gula rafinasi dan garam beriodium, mengingat pasokan dari dalam negeri tidak mencukupi.

Pertumbuhan ekspor nasional memang masih menjanjikan. Namun, karena kebijakan fiskal yang dinilai kurang menguntungkan, cukup banyak devisa hasil ekspor—yang seharusnya dapat memperkuat cadangan devisa nasional—justru diparkir di luar negeri sehingga kontribusinya terhadap perekonomian nasional menjadi kurang signifikan.

Di sisi lain, industri nasional juga menghadapi beban-beban lain yang seakan tiada habisnya, seperti penguatan rupiah, kenaikan tarif dasar listrik serta kenaikan biaya logistik. Ditambah lagi dengan masih banyaknya pungutan—baik resmi maupun liar—lengkap sudah hambatan bagi industri nasional untuk malas bertumbuh sesuai harapan.

Advertisement

Serbuan impor

Untuk mengamati gejala deindustrialisasi di lapangan secara lebih seksama tidak sulit. Kita lihat saja di berbagai pasar di negeri ini, baik di pasar tradisional, pusat perniagaan hingga mal mewah, seberapa banyak produk lokal yang terpajang di lapak maupun gerai. Produk mainan anak, misalnya, boleh dikatakan hampir seluruhnya merupakan barang impor, khususnya dari China. Barang kebutuhan rumah tangga berbasis plastik dan logam, sami mawon, made in China.

Apalagi barang elektronika, kalau bukan dari China, Taiwan, Jepang, ya buatan Thailand, Malaysia atau bahkan Vietnam! Ini contoh nyata betapa pasar Indonesia kini dibanjiri oleh produk impor yang sedemikian masif, nyaris sulit sekali bagi kita untuk dapat memperoleh produk buatan lokal di sektor elektronika ini, kecuali yang golongan home appliances seperti kulkas, setrika, AC, televisi dan kipas angin.

Advertisement

Kondisi ironis ini juga terjadi di bidang peranti telekomunikasi seluler. Dari fenomena meledaknya penggunaan dan kepemilikan Ponsel yang kabarnya kini sudah mencapai jumlah pengguna sekitar 160 juta unit itu, industri manufaktur nasional nyaris gigit jari dan cuma menjadi penonton karena hampir seluruh produk tersebut diimpor secara utuh dari negara lain. Industri manufaktur nasional praktis tidak mampu berkutik menghadapi bonanza industri telepon seluler tersebut.

Banyak lagi peluang bagi industri manufaktur nasional yang akhirnya lepas begitu saja seiring dengan ketidaksiapan mereka atau kesalahan kebijakan pemerintah dalam mendorong pelaku industri guna meningkatkan kapasitas mereka. Industri tekstil, misalnya, yang pada dekade 1990-an begitu kokoh, kini terkesan merana seiring dengan keterlambatan program peremajaan sarana produksi yang antara lain miskin dukungan pemerintah maupun ketiadaan barang modal di dalam negeri.

Begitu halnya dengan industri kayu lapis Indonesia yang pernah menggetarkan dunia, kini nasibnya seakan menunggu ketidakpastian. Selain bahan baku semakin langka karena terjadinya pembalakan hutan besar-besaran yang hasilnya diekspor secara ilegal, pembinaan terhadap industri tersebut juga rapuh.

Advertisement

Untuk melepaskan diri dari jebakan deindustrialisasi lebih lanjut, terdapat beberapa hal yang perlu ditempuh. Syukur-syukur dapat mendorong reindustrialisasi di negeri ini, yang masih memiliki peluang besar untuk bangkit karena peluang pasar yang sangat besar serta ketersediaan sumber daya alam yang dapat dioptimalkan pemanfaatannya bagi kepentingan bangsa.

Pertama, pembenahan masalah legal alias pembenahan aturan maupun perundangan. Harus ada kepedulian yang nyata dari DPR dan Presiden bila memang menghendaki industri manufaktur sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi bangsa. Benahi secara total berbagai hambatan yang dikeluhkan oleh pelaku industri agar mereka dapat lebih leluasa meningkatkan kinerja, termasuk di antaranya memberantas aneka pungutan yang membebani dunia usaha.

Kedua, mengupayakan dukungan yang bersifat masif dan interdept agar sektor industri tetap tumbuh. Hal ini hanya dapat ditempuh apabila masalah infrastruktur (ketersediaan lahan industri, jalur transportasi, pelabuhan, pasok daya listrik, air baku dan layanan telekomunikasi) serta sistem interkoneksi nasional dapat dibenahi. Penciptaan koridor baru ekonomi yang sudah dicanangkan bersama antara pemerintah Indonesia dan Jepang, Oktober silam, hendaknya segera diwujudkan, bukan sekadar kesepakatan seremoni.

Ketiga, menciptakan berbagai insentif yang kiranya dapat memacu atau bahkan menarik kembali berbagai sektor industri untuk mengembangkan usaha mereka di Indonesia. Misalnya industri pengolahan bijih logam, industri hilir minyak sawit, industri bahan baku obat, dan banyak lagi. Dengan demikian, kecenderungan ekspor bahan alam dalam bentuk mentah (raw material) dapat ditekan sehingga bangsa ini memperoleh nilai tambah tinggi untuk berbagai komoditas yang dihasilkannya.

Keempat, adanya dukungan nyata dari Ditjen Bea dan Cukai serta Ditjen Pajak. Masalah tumpang tindih kebijakan fiskal/perpajakan yang selalu mengundang keluhan dunia usaha hendaknya segera dibenahi. Selain itu, pengawasan terhadap produk selundupan hendaknya diperkuat sehingga tidak mengganggu kinerja industri domestik yang benar-benar memberikan kontribusi nyata bagi negara dalam bentuk pajak dan kesempatan kerja tersebut.

Kelima, terus menjaga kondusivitas iklim investasi, mengingat Indonesia memiliki nilai lebih dibandingkan dengan sejumlah negara di ASEAN maupun China dan India. Investor Jepang, misalnya, menganggap berinvestasi di Indonesia lebih menjanjikan ketimbang di China mengingat buruknya riwayat perseteruan kedua bangsa tersebut.

Akhirnya, peran pemerintah yang memang memiliki otoritas dan daya serta kewajiban untuk itu sangatlah didambakan dalam upaya mewujudkan 2011 ini sebagai tahun reindustrialisasi di negeri ini. Jangan sampai gunjingan orang tentang ”ketidakhadiran” pemerintah dalam mengawal pertumbuhan ekonomi benar adanya bahwa, “Pertumbuhan ekonomi ini kan benar-benar hasil upaya pasar. Kalau pemerintah diam saja, pertumbuhan kita bahkan lebih tinggi, bisa mencapai 7%.”

Ahmad Djauhar

Wartawan Jaringan Informasi Bisnis Indonesia

Advertisement
Kata Kunci : Kolom Jauhar
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif