Soloraya
Minggu, 5 Desember 2010 - 22:48 WIB

Revolusi budaya baru sebatas inisiasi..

Redaksi Solopos.com  /  Anik Sulistyawati  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Ada sesuatu yang menarik di Balai Soedjatmoko Kompleks Gramedia Jl Slamet Riyadi Solo, Minggu (5/12) malam. Untuk kali kedua Forum Aspirasi Anak Muda Membicarakan Kota kembali dihelat. Topik pokoknya pandangan Walikota Solo, Joko Widodo (Jokowi) tentang Revolusi Budaya.

Nama lengkapnya Aditya Maulana. Pemuda itu tak berdarah Solo (Jawa). Jangankan memahami budaya (Jawa) secara utuh, sekadar berbahasa (Jawa) pun dia tidak bisa. Namun laki-laki asal Bandung yang kini ber-KTP kan Solo itu seolah menjadi “bintang” dalam forum yang dihadiri para sesepuh, budayawan dan kaum muda Kota Bengawan. Hampir selama 20 menit pemuda dari komunitas Pengamen-Gelandangan dan Orang Terlantar (PGOT) berbicara panjang lebar ihwal perspektifnya akan budaya.

Advertisement

Budaya Solo yang menurutnya kini telah jauh terkikis. Tanpa canggung dia contohkan budaya senyum dan perilaku ramah masyarakat Solo yang semakin sulit dijumpai. Baginya tak sulit membuktikan itu. Di jalanan sisi ramah wong Solo seolah tak berlaku.

“Apa budaya itu sebenarnya? Ketika wajah anda tersenyum, kami katakan itu wajah budaya. Ketika tangan anda memberi, kami katakan itu tangan budaya. Barangkali ini karena persepsi saya saja yang terbatas. Tapi ini kenyataan yang kami temukan di jalanan,” ungkapnya.

Advertisement

“Apa budaya itu sebenarnya? Ketika wajah anda tersenyum, kami katakan itu wajah budaya. Ketika tangan anda memberi, kami katakan itu tangan budaya. Barangkali ini karena persepsi saya saja yang terbatas. Tapi ini kenyataan yang kami temukan di jalanan,” ungkapnya.

Pemuda yang malam itu hanya mengenakan kaos dengan blangkon di kepala menilai visi Solo Kota Budaya masih harus terus disosialisasikan. Bukan hanya bagi masyarakat kebanyakan, namun juga terhadap komunitas marjinal di masyarakat.

Aditya hanya salah satu dari puluhan peserta Forum Aspirasi yang dimaksudkan menjadi wadah unek-unek atau protes terhadap Pemkot Solo/Jokowi. Sebuah perspektif atau sikap yang selama ini kurang terwadahi di kota ini. Tema berpijak pada pernyataan Jokowi ihwal perlunya revolusi budaya di Solo.

Advertisement

Seperti disampaikan Joko Suyanto dari Forum Bonggowongso Tosan Aji Balai Soedjatmoko. Laki-laki itu menyoroti buruknya perilaku birokrat Solo dari perspektif budaya. Tanpa sengaja Joko pernah mendapati perbincangan birokrat yang tak memiliki komitmen/etos kerja.

Padahal salah satu nilai budaya Jawa yang harus dijunjung tinggi yakni kemampuan menjaga lidah (perkataan) dan perilaku. “Dadi wong Jawa aja gumunan, aja kagetan, aja mburu menange dhewe..aja seneng aji mumpung tanpa arah. Manusia termasuk birokrat harus njawani bukan saja berbahasa Jawa tapi memahami dan mengimplementasikan nilai-nilai budaya itu. Harus menjaga perkataan dan perilaku,” tandas Joko.

Pernyataan ketidakpuasan akan implementasi visi Kota Budaya juga disampaikan Jeliteng, budayawan kota.

Advertisement

Laki-laki berprofesi dalang itu menilai yang berjalan selama ini sebatas revitaliasi bukan revolusi. Menurutnya Jokowi baru bermain di tataran gagasan. Sebab revolusi budaya sesuatu yang besar dan berimplikasi makro. Dan parahnya sampai saat ini Jokowi belum mampu membuktikan adanya strategi budaya dan politik kota.

“Saat ini Solo belum punya strategi budaya dan politik. Jadi yang terjadi revolusi atau sebatas revitalisasi?,” pungkas dia.

kur

Advertisement

Advertisement
Kata Kunci : Revolusi Solo
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif