Soloraya
Minggu, 21 November 2010 - 07:45 WIB

Memulai hidup baru tanpa kaki dan keluarga...

Redaksi Solopos.com  /  Nadhiroh  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Oleh: Aries Susanto

Bencana Merapi kini memang telah mereda. Namun sisa-sisa kepedihannya seperti melahirkan cerita tersendiri yang tak pernah kering untuk ditulis.

Advertisement

Perempuan itu masih terbelalak matanya. Dari hidungnya terjulur selang penyuplai oksigen. Lama ia memandang kosong langit-langit ruang ICU Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Soeradji Tirtonegoro Klaten, Sabtu (20/11). Pelan-pelan, tiba-tiba terdengar suara syahadat yang menuntunnya.

“Ibu Barriyah masih shock berat berat. Ia mengalami gangguan kejiwaan,” kata tetangga Ny Barriyah, Heri Harianto.

Advertisement

“Ibu Barriyah masih shock berat berat. Ia mengalami gangguan kejiwaan,” kata tetangga Ny Barriyah, Heri Harianto.

Ny Barriyah adalah salah satu korban letusan Merapi, Jumat (5/11) silam. Kedua kakinya mengalami luka bakar hingga membusuk. Ketika dokter memutuskan kedua kakinya harus diamputasi, perempuan yang hidup sebatang kara itu menjerit histeris.

“Dia menolak diamputasi. Sebab, tak ada keluarga yang memberinya motivasi. Sedang, anak angkat satu-satunya telah mati tersapu awan panas,” sahut dr Puspita Laksmintari Sp KK, Kepala Bidang Pelayanan Medik RSUP Klaten.

Advertisement

“Kami telah meminta dokter agar diamputasi. Sebab, penyakitnya akan menggerogoti seluruh tubuhnya,” lanjut keluarga Ny Barriyah, Haris sambil membawa satu kantong darah untuk persiapan operasi amputasi Ny Barriyah.

Tak jauh dari ruangan ICU RSUP Klaten, seorang ibu setengah baya terbaring tanpa kedua kaki. Ia adalah salah satu korban letusan Merapi yang selamat, meski kedua kakinya harus diamputasi.

“Saat itu, saya mencoba berlari. Namun, kaki saya malah menginjak pasir panas ke dalam,” kata ibu itu, Waginem.

Advertisement

Waginem, buruh tani dari Desa Binomartani Ngemplak Sleman Jogja itu sungguh tak menyimpan rasa sesal sedikitpun meski kedua kakinya kini telah tiada. Dari rona wajahnya yang berseri, seperti ada harapan yang tersimpan di sana.

“Saya sudah ikhlas. Ini semua demi kesembuhan saya,” katanya. Kini, Waginem hanya bisa membayangkan hari-hari depannya yang berkawan kursi roda.

Heri Harianto, seorang pemuda yang menjenguk saudara korban Merapi di RSUP Klaten kala itu masih terlihat tegar. Dua pekan lalu, ketika dia bergegas pulang dari Jakarta usai mendengar kabar bahwa kampungnya tersapu letusan Merapi, ia hanya terpaku. Didapatinya, seorang ayahnya telah mati tanpa rupa. Ibu dan adik semata wayangnya juga mati tanpa dikenali lagi.
Kini, Harianto hidup sebatang kara; tanpa orangtua, tanpa saudara, tanpa rumah. “Sampai saat ini, rumah kami tak ditemukan di mana lokasinya,” paparnya.

Advertisement

Namun, Harianto tak kehilangan harapannya. Sama seperti Waginem yang tak lagi memiliki sepasang kakinya itu, Harianto rupanya telah siap melanjutkan sejarah hidupnya dalam suka dan duka di tanah kelahirannya di lereng Merapi.

“Saya telah putuskan keluar kerja di Jakarta. Saya akan kembali ke kampung halaman dan mengurusi sawah-sawah milik orangtua,” katanya penuh harap.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif