Tokoh
Senin, 15 November 2010 - 20:43 WIB

dr Lipur, Kartini Forensik yang suka petualangan

Redaksi Solopos.com  /  Nadhiroh  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Jogja--Tak hanya menyukai dunia forensik, dr Lipur Ryantiningtyas Budi Setyowati yang juga menjabat sebagai Kepala Instansi Kedokteran Forensik RS Sardjito Jogja ini juga menyukai kegiatan petualangan.

Dokter inilah yang memegang peranan penting dalam identifikasi korban-korban letusan Gunung Merapi.

Advertisement

Dokter Lipur yang telah menjadi Kepala Instansi Kedokteran Forensik Rs Sardjito selama hampir 8 tahun ini pun berbagi kisahnya, Jumat (12/11).

“Sebelum menjabat di sini, saya pernah menjadi dokter PTT di Puskesmas Depok II Maguwoharjo, Sleman,” kata Ibu beranak 2 ini memulai perbincangan.

Saat itu, dia juga bekerja di luar jam kerja unit penanganan forensik RS Sardjito. Hal itulah yang membuatnya semakin jatuh cinta pada ilmu forensik.
Ibu yang memiliki hobi jalan-jalan ini mengaku tertarik dengan ilmu forensik karena menurutnya, forensik itu unik.

Advertisement

“Banyak yang bisa digali, forensik itu ilmu yang luas, lebih banyak nalar dan banyak hal baru yang bisa dipelajari,” ujarnya.

Istri dari I Gede Oka Subagya ini menuturkan ketika ia masih kuliah dan mendapat ilmu forensik untuk pertama kali, ia sempat tidak doyan makan gudeg, makanan khas Kota Jogja. Mengapa?

“Warna gudeg itu mirip otot-otot manusia yang sudah membusuk. Jadi sempat nggak doyan makan gudeg,” ucapnya sambil tertawa ketika mengingat masa mudanya.

Tapi sekarang dia sudah sangat biasa. Bagi dia, ketika melihat jenazah maka mindsetnya harus diubah. Jenazah bukanlah melihat sosok yang harus ditakuti tapi lebih menggunakan perasaan dan logika.

Advertisement

“Kenapa jenazah ini bisa mati, apa yang menyebabkannya, ya seperti bermain detektif-detektifan,” tutur perempuan kelahiran 27 Januari 1967 ini.

Dokter yang mengaku pernah menjelajah Indonesia dari Sabang sampai Merauke ini juga menceritakan pengalaman otopsi jenazah yang paling mengerikan buatnya.

“Waktu itu sekitar tahun 1980-an, kalau tidak salah. Empat jenazah harus diotopsi padahal sudah membusuk dan penuh belatung. Belatungnya sampai lompat ke mana-mana,” kata dr Lipur sambil menegaskan peristiwa tersebut terjadi kala dia masih menjadi mahasiswa baru.

“Ada juga waktu bencana Merapi tahun 1996. Waktu itu harus bongkar makam di Kebumen. Dan ketika berjalan kok saya mendengus bau sate, rupanya ada jejeran korban-korban Merapi yang hangus karena wedhus gembel. Hidungnya orang forensik udah rusak semua,” paparnya sambil tertawa.

Advertisement

Dokter yang memiliki 4 saudara kandung ini juga bercerita bahwa di keluarganya hanya dialah satu-satunya anak yang menjadi dokter. Rupanya menjadi dokter adalah keinginan ayahnya.

Sang ayah ingin ada salah satu dari kelima anaknya menjadi dokter. Karena dia anak bungsu, Lipur pun ingin mewujudkan keinginan orangtuanya.

Dokter yang kini tengah menyelesaikan thesis di Program Pascasarjana Hukum Kesehatan UGM ini menuturkan bahwa keluarganya selalu mendukung penuh pekerjaanya.

“Untungnya suami saya mengerti dan mendukung penuh pekerjaan saya. Sementara kedua anak saya sudah dibiasakan mandiri dari kecil jadi tidak pernah protes,” tuturnya.

Advertisement

Putri sulung Lipur sempat mengatakan tidak mau mengikuti jejak ibunya sebagai dokter.

Tapi setelah putrinya tahu betul pekerjaan dokter itu seperti apa, dia lantas berkeinginan juga menjadi dokter. Namun seiring waktu  berlalu, keinginannya bergeser lagi.

Putri sulung Lipur memilih menjadi seorang psikolog. Putri kecil yang beranjak dewasa itu baru saja menjadi mahasiswa semester 1 Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Jogja.

“Awalnya juga saya nggak ingin jadi dokter. Inginnya malah jadi insinyur. Membayangkan diri saya menggunakan celana jeans, kaos dan topi insinyur. Saya memang suka bekerja di lapangan,” ucap Lipur.

Dokter yang sering mengunjungi Pulau Dewata ini juga menceritakan kesedihannya, mengingat ayah angkatnya yang sekaligus adik ipar dari Mbah Maridjan turut menjadi korban letusan Gunung Merapi 26 November lalu.

“Namanya Udi Sutrisno. Waktu jenazahnya di ruang forensik saya menangis. Semua teman bertanya kenapa saya yang biasanya tegar kok menangis. Begitu saya cerita kalau jenazah itu bapak angkat saya, mereka mengerti,” tutur Lipur dengan raut muka sedih.

Advertisement

Bagi dia, Desa Kinahrejo sudah menjadi rumah kedua. Sebab di masa mudanya, ia suka mendaki Gunung Merapi hingga akrab betul dengan warga yang tinggal di desa paling dekat dengan Merapi itu.

Lipur menuturkan, terakhir kali bertemu Udi Sutrisno adalah ketika Lebaran lalu. Ia pun sempat berfoto-foto dengan keluarga Udi.

“Baru kali itu Mbak, saya kok ingin sekali foto bareng di depan rumah Bapak (Udi). Dan anehnya Bapak itu sempat-sempatnya dandan ganti baju sama pakai peci padahal cuma foto biasa,” ujar Lipur sambil menunjukkan foto terakhirnya bersama Udi.

Kala itu, dia bertanya kepada Udi, mengapa Udi berdandan segala hanya untuk berfoto.

“Bapak bilang, sopo ngerti iso dadi pengeling-eling (sapa tahu bisa jadi pengingat),” tambahnya.

Lipur kaget mendengar ucapan itu. Demikian juga dengan istri Udi. Beberapa bulan kemudian terbukti, foto itu menjadi foto terakhir Lipur bersama Udi.
Baginya, Udi telah menjadi sosok ayah yang sederhana. Dengan kepolosannya, Udi selalu menerima siapapun yang bertandang ke rumahnya.

“Positive thinking-nya itu yang selalu saya ingat. Bapak tidak pernah menaruh curiga terhadap siapapun,” ujarnya.

Lipur pernah membujuk Udi untuk turun dari lereng Merapi ketika salah satu gunung paling aktif di dunia itu akan meletus. Namun bujukan itu ditolak Udi dengan alasan ingin menemani Mbah Maridjan.

“Waktu kejadian, Bapak sempat mau turun ke pengungsian dibonceng anaknya. Tapi begitu tahu beberapa tetangganya masih tinggal di rumah, ia pun turun dari motor dan meminta anaknya untuk pergi ke pengungsian terlebih dahulu,” tambahnya.

Bagi dokter yang sedang merencanakan ambil cuti bulan depan untuk berjalan-jalan ini, pekerjaan kantor jangan sampai dibawanya pulang ke rumah.
Ia lebih memilih untuk menginap di kantor dan menyelesaikannya ketimbang pulang cepat namun masih kepikiran tentang pekerjaanya.

“Begitu sampai di rumah yang saya fokuskan adalah keluarga saya, itu yang terpenting,” tutup Lipur.

dtc/nad

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif