Soloraya
Jumat, 5 November 2010 - 20:15 WIB

Suyanto menyaksikan adik, ipar & keponakan meregang nyawa di pasir membara...

Redaksi Solopos.com  /  Nadhiroh  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Telapak kaki kiri Suyanto, 35, masih terbalut perban. Dia terbaring lemah di ruang darurat (RD) Rumah Sakit Umum Pemerintah (RSUP) Soeradji Tirtonegoro Klaten, Jumat (5/11).

Ketika Espos mencoba mendekatinya, warga Guling Argomulyo Cangkringan Sleman itu mencoba memalingkan wajahnya yang masih menyisakan kekalutan.

Advertisement

“Saya ingin istirahat dulu, Mas,” katanya pelan.

Namun, tak seberapa lama, ia pun memberanikan diri bertutur dengan segala ingatan yang masih melekat di sanubarinya.

“Malam itu sangat gelap. Listrik padam. Suara Merapi terus menggelegar. Jalanan penuh dengan api membara,” kisah Suyanto dengan terputus-putus.

Advertisement

Tragedi Merapi yang meletus tengah malam itu sungguh menjadi awal cerita panjang Suyanto yang tak kan pernah terlupakan.

Malam yang mencekam itu sekitar pukul 00.30 WIB, Suyanto bersama kelima saudaranya meluncur ke bawah dengan kendaraan pick up setelah terdengar letusan menggelegar berkali-kali dari Gunung Merapi.

Dalam kepanikan dan kegelapan, kendaraan yang ia tumpangi melaju tanpa arah yang jelas. Tiba di ujung perbatasan desanya, mendadak ban mobilnya meletus keras.

Advertisement

“Saat saya tengok, ternyata ban mobil terendam pasir panas hingga meleleh,” kenangnya.

Di situlah awal petaka terjadi. Adiknya, Triyono bersama istri dan anaknya yang masih Balita meregang nyawa di atas butiran pasir dan kerikil yang menyala api. Semua itu ia saksikan di depan mata telanjangnya tanpa ia mampu berbuat sedikit pun.

“Saat itu saya bersembunyi di bak belakang mobil pick up. Namun, ketika ban mobil meletus, adik saya malah keluar mobil,” kenangnya.

Triyono yang menyetir mobil malam itu langsung tersungkur di atas pasir dan kerikil membara. Mengetahui suaminya dalam bahaya, istri Triyono, Lili yang menggendong bayinya, Adit, 3, mencoba keluar mobil dan ikut menolong.

Namun, nahas benar nasibnya. Lili dan Balita semata wayangnya itu pun ikut tersungkur di atas pasir muntahan Merapi.

“Ibu saya, Waginem pun ikut-ikutan keluar mobil, namun begitu menginjakkan kaki, langsung saya tarik ke bak pick up,” urainya.

Suyanto bersama ibunya dan tetangganya, Wawan yang bertahan di bak mobil kala itu selamat. Namun, adiknya bersama istri dan Balitanya mati terpanggang tepat di depan matanya.

Selama setengah jam bersembunyi di bak mobil pick up itu, Suyanto tak henti merapal doa dan mantra di bawah selimut sarung.

“Saat itu saya membayangkan seperti di neraka. Di mana-mana api menyala. Kami terjebak di tengah jalan di lautan api. Besi-besi mobil mulai panas. Kami siap mati malam itu,” kenangnya.

Doa Suyanto kala itu mungkin terkabul. Dalam ratapan doa tiada henti, mendadak turun hujan dari langit.

Pasir dan kerikil membara setinggi roda mobil kala itu pun langsung padam. Perlahan-lahan hawa panas menyingkir bersama kepulan asap putih.

“Yang saya takutkan kala itu ialah jika mobil meledak. Beruntung hujan turun malam itu,” paparnya.

Teringat Ponsel yang terselip di saku celananya, Suyanto pun mencoba menghubungi siapa saja yang ia kenal, terutama istrinya, Kartini yang telah mengungsi terlebih dahulu dengan selamat.

Ada harapan terang di sana. Sebab, tak seberapa lama, mobil relawan dari kegelapan malam perlahan naik dan memjemputnya.

“Saya hanya mengalami luka bakar di kaki kiri. Tapi, adik saya dan keluarganya telah mati,” pungkasnya.

Oleh : Aries Susanto

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif