News
Jumat, 13 Agustus 2010 - 17:30 WIB

Dengar pendapat soal tol Semarang-Solo memanas

Redaksi Solopos.com  /  Arif Fajar Setiadi  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Semarang (Espos)–Dengar pendapat Komisi D DPRD Jateng dengan Bank Mandiri, Ketua Tim Pembebasan Tanah (TPT) tol Semarang-Solo, Trans Marga Jateng, Perum Perhutani, Dinas Bina Marga, dan Dinas Kehutanan, dan Kades Jatirunggo, di Gedung DPRD Jateng, Jl Pahlawan, Kota Semarang, Jumat (13/8) berlangsung panas.

Anggota Komisi D dibuat jengkel dengan jawaban dari pihak Bank Mandiri dan TPT.
Bahkan anggota Komisi D Khayataul Maki, menuding Ketua TPT Suyoto telah berbohong dengan menyatakan tak mengetahui adanya broker dalam proses ganti rugi tanah milik warga Jatirunggo.

Advertisement

“Ketua TPT yang menyatakan tak mengetahui adanya broker adalah bohong, sebab Kepala Desa Jatirunggo Endra Wahyudi ternyata telah memberitahukan adanya broker kepada TPT,” ujar politisi dari PPP ini.

Anggota Komisi D lainnya, Gatyt Sari Chotijah juga kecewa dengan sikap Ketua TPT dan Bank Mandiri.

Ketua TPT proyek tol Semarang-Solo, Suyoto dalam keterangannya kepada anggota Komisi D menyatakan, tak tahu menahu adanya broker dalam pembayaran ganti rugi tanah milik warga Jatirunggo.

Advertisement

Namun saat ditanya wartawan seusai pertemuan, dia mengaku hanya mendengar adanya broker.”Saya hanya mendengar adanya broker, tapi dalam proses negosiasi ganti rugi dilakukan langsung kepada warga setempat,” tandas Suyoto sambil memperlihatkan dokumen proses pembebasan tanah.

“Saya tak merekayasa, ini ada tanda tangan 99 warga Jatirunggo pemilik tanah,” tukas dia.

Sementara Kepala Desa Jatirunggo, Indra Wahyudin yang hadir dalam dengar pendapat itu mengungkapkan keterlibatan broker tanah bernama Agus Sukma Wiharjo.
Menurut dia, sejak tahun 2008 Agus telah mendekati warga untuk membeli tanah yang akan digunakan sebagai ganti rugi tanah milik Perhutani di Sumowono yang terkena proyek tol Semaran-Solo.

Advertisement

“Agus awalnya menawar Rp 4.000 per meter persegi, kemudian dinaikkan lagi menjadi Rp 15.000 per meter persegi,” jelas dia.

Semula warga menolak, namun pada kemudian warga melalui persetujuan di bawah tangan bersedia melepaskan tanah miliknya setelah harganya dinaikan menjadi Rp 20.000 per meter persegi.

“Namun saat dilakukan pembayaran oleh TPT pada 29 April 2010 senilai Rp 50.000 per meter persegi, warga sempat komplin tapi tak ada tanggapan,” ujar dia.

oto

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif