News
Jumat, 23 Juli 2010 - 12:02 WIB

MUI Jatim usul pemilihan gubernur langsung, dihapus

Redaksi Solopos.com  /  Arif Fajar Setiadi  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Surabaya–Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur mengusulkan kepada pemerintah untuk menghapus pemilihan gubernur secara langsung karena fungsi gubernur hanya koordinator wilayah.

“Terus-terang, pilkada langsung selama ini seolah-olah demokratis, tapi pemenang sebenarnya adalah pemodal, karena itu harus dievaluasi,” kata Ketua Umum MUI Jatim KH Abdusshomad Bukhori di Surabaya, Jumat (23/7).

Advertisement

Ia mengemukakan hal itu ketika dikonfirmasi tentang usulan MUI Jatim dalam Musyawarah Nasional (Munas) MUI di Jakarta pada 25-28 Juli mendatang.

Menurut dia, Pilkada langsung perlu dievaluasi dengan tatacara pemilihan yang lebih meminimalkan penodaan demokrasi, seperti syarat “incumbent” (pejabat kini) untuk mundur sejak saat pencalonan, pernah mengikuti Lemhannas, pertimbangan moralitas dari MUI, dan sebagainya.

“Evaluasi Pilkada akan menghindarkan masyarakat dari benturan fisik dan pemborosan dana, karena itu kami mengusulkan pilgub untuk dievaluasi paling dahulu,” katanya.

Advertisement

Ia menilai mekanisme Pilgub hendaknya diserahkan kepada mekanisme usulan dari masyarakat di setiap kabupaten/kota kepada DPRD setempat, kemudian diteruskan ke DPRD tingkat provinsi.

“Di DPRD provinsi itu dilalukan uji kelaikan dan kepatutan untuk akhirnya diusulkan tiga nama kepada presiden guna menunjuk salah satu di antaranya sebagai calon gubernur di suatu provinsi. Dalam proses uji kepatutan itulah, parpol dapat berperan,” katanya.

Bila evaluasi Pilkada dapat dilakukan, katanya, benturan fisik akan mudah dihindari dan ulama akan mudah mendekati masyarakat guna melakukan perbaikan moral.

Advertisement

“Itu karena masyarakat tidak selalu memikirkan politik praktis mulai dari pemilihan kades, lurah, RT/RW, bupati/wali kota, gubernur, DPR, DPRD, hingga presiden,” katanya.

Bagaimana pun, katanya, masyarakat sekarang belum mampu berpikir dewasa, karena pilkada langsung selama ini ditentukan kekuatan uang mulai dari proses pencalonan hingga pencoblosan.

“Siapapun tahu, pencoblosan selalu diwarnai rayuan masyarakat dengan uang, ada yang memberi Rp10.000 per orang, lalu disaingi calon lain dengan memberi Rp15.000 per orang. Jadi, pilkada hakekatnya dikendalikan pemodal dari para calon,” katanya.

ant/rif

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif