News
Minggu, 20 Juni 2010 - 11:53 WIB

Pencipta Vuvuzela menangguk untung selama Piala Dunia

Redaksi Solopos.com  /  Indah Septiyaning Wardani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Cape Town--kalau saja bek Neil Van Schalkwyk tak mencetak gol penyeimbang uat tim yunior Santos Cape Town melawan Battswood 15 tahun silam, suara bising vuvuzela mungkin tak pernah terdengar di Piala Dunia 2010.

Ketika para penonton merayakan gol tersebut, Van Schalwyk tiba-tiba melihat sebuah trompet buatan tangan tengah ditiup dan dari situ muncul sebuah ide.

Advertisement

“Itu momen yang menyambar,” aku Van Schalkwyk, yang mengklaim dirinya sebagai pencipta vuvuzela, trompet khas Afrika Selatan yang dicukai publik setempat, tapi menuai banyak protes dari publik luar negeri.

Van Schalkwyk yang bekerja di pabrik plastik memikirkan cara untuk membuat sebuah trompet serupa dengan suara yang memekakkan telinga.

“Saya sempat kurang tidur saat itu (memikirkan cara membuat vuvuzela),” ujar lelaki berusia 37 tahun itu. “Kini, saya meminta maaf kepada mereka yang tak bisa tidur (karena suara bising vuvuzela selaa Piala Dunia).”

Advertisement

Kini, ribuan vuvuzela ciptaannya telah terjual lengkap dengan penutup kuping. Padahal, sebelumnya ia hanya bisa menjual sedikit trompet plastik buatannya itu sejak mulai mengkomersialisasikannya satu dekade silam.

Ia memulai dengan menjual 500 vuvuzela pada 2001 dan setahun kemudian ia mendapat ledakan pesanan ketika sebuah perusahaan membeli 20 ribu vuvuzela utuk dijadikan alat promosi.

Vam Schalkwyk tak bisa mempatenkan vuvuzela ciptaannya karena “trompet ad;ah trompet dan alat itu sudah ada selama berabad-abas.” Jadi, perusahaannya, Masincedane Sport, hanya mematenkan merk dagang ‘vuvuzela’ yang artinya “Menyirami Anda Kebisingan.”

Kini, ia mendapat tawaran kerja sama dari Rusia dan Brasil untuk memproduksi vuvuzela yang asli di kedua negara itu.

Advertisement

“Itu terjadi beberapa hari yang lalu. Tampaknya, vuvuzela bakal melanda Rusia,” kata Van Schalkwyk.

Lewat perusahaan Jerman, Urbas-Kehrberg, Van Schalkwyk sudah mendapatkan persentasi dari hasil penjualan vuvuzela di wilayah Uni Eropa.

Demam vuvuzela kini telah mendunia. Di situs YouTube ada video tentang alat tiup itu dan di Jerman, pubik harus mengucapkannya dengan jelas karena cara pengucapan vuvuzela terdengar seperti nama mantan striker idola mereka, Uwe Seeler.

Suara vuvuzela bahkan berkumandang di Fenway Park Boston dalam pertandingan baseball antara Red Sox dan Arizona Diamondbacks. Bahkan Miami Marlins secara gratis memberikan 15 ribu klakson udara yang ukurannya lebih kecil daripada vuvuzela kepada para fans mereka pada laga melawan Tampa Bay Rays, pekan lalu.

Advertisement

Tapi, tentu saja tak semua orang menyukai vuvuzela. Publik Prancis tak membenci suara vuvuzela yang mirip segerombolan lebah yang marah sehingga sebuah saluran TV kabel menawarkan tayangan Piala Dunia bebas vuvuzela.

Para pemain juga mengkritik vuvuzela karena suara bising yang ditimbulkannya membuat mereka tak bisa berkomunikasi dengan pelatih di bench. Sementara para suporter tim tamu tak bisa lagi menanyikan lagu-lagu dukungan terhadap tim kesayangan mereka lantaran tertutup suara bising vuvuzela.

Vuvuzela sempat nyaris tak terdengar dalam laga Inggris lawan Aljazair Jumat lalu ketika ribuan fans The Three Lions bersama-sama meneriakkan kata-kata “Inggris, Inggris.” Tapi, ketika harapan Inggris meraih kemenangan kian menguap, suara vuvuzela kembali mendominasi.

Pelatih Inggris, Fabio Capello, bahkan mendapat keuntungan dari suara bising vuvuzela di akhir pertandingan lawan Aljazair di mana para fans Inggris mencemooh mereka. “Saya tak mendengar cemoohan itu karena vuvuzela. Saya tak tahu pakah itu suara vuvuzela atau ‘boo’,” kilah Don Fabio.

Advertisement

Kecaman yang dilontarkan terhadap vuvuzela mengundang presiden FIFA, Sepp Blatter, memberikan pembelaan dengan menyebut trompet itu sebagai kebudayaan Afrika.

Bahkan peraih Nobel Perdamaian, Uskup Desmond Tutu, ikut membela Vuvuzela.

“Luar biasa melihat bagaimana vuvuzela menyebar ke setiap level di masyarakat,” kata Van Schalkwyk. “Bahkan Uskup Desmond Tutu menyempatkan diri muncul dan membelanya dari semua kritikan. Terlepas dari cara kami merayakan sepakbola, publik juga harus mempertimbangkan itu (pembelaan Desmond Tutu).”

Selaa Piala Dunia ini, perusahaan Van Schalwyk telah mempekerjakan 100 orang karyawan. Dan dari keuntungan 7 juta rand (750 ribu dolar AS) dalam satu dekade, separuhnya diperoleh sepanjang setahun terakhir.

Sebagai sebuah suvenir, vuvuzela dijual dengan harga paling rendah 5 dolar AS dan puluha ribu fans diperkirakan bakal pulang ke negaranya dengan membawa minimal dua vuvuzela dalam setiap koper mereka.

Di Inggris, sebuah jaringan toko kelontong Sainsbury mengungkapkan telah menjual 43 ribu vuvuzela dengan harga satuan 2 poundsterling.

Advertisement

Di Afrika Selatan, Van Schalkwyk memperkirakan seperempat dari sekitar 2 juta vuvuzela yang beredar yang benar-benar asli.

Jika di stadion-stadion di Inggris selalu terdengar nyanyian khusus masing-masing klub selama puluhan tahun, di Afrika Selatan situasinya berbeda.

“Kami di sini punya 11 bahasa berbeda dan sejumlah lagu tertentu tak dipahami oleh yang lainnya. Hanya satu bahasa yang bisa dimengerti semuanya dan itu adalah vuvuzela,” kata Van Schalkwyk.

Ia juga menpis keluhan yang dilontarkan para pemain tentang kebisingan vuvuzela dengan mengatakan bahwa ketika Spanyol tersingkir dari Piala Konfederasi tahun lalu di saat dunia baru mengenal vuvuzela, para pemain tim Matador masih menyempatkan diri membawa pulang beberapa alat tiup itu dalam koper mereka.

Tempointeraktif/isw

Advertisement
Kata Kunci : Sepak Bola Vuvuzela
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif