News
Jumat, 9 April 2010 - 17:37 WIB

Pengajuan PK Arthalyta Suryani karena hakim lalai

Redaksi Solopos.com  /  Tutut Indrawati  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Bandar Lampung – Kuasa hukum Arthalyta Suryani, Sopian Sitepu mengatakan pengajuan Peninjauan Kembali (PK) oleh terpidana Arthalyta Suryani karena Majelis Hakim yang memutuskan perkara perempuan pengusaha asal Lampung itu lalai. Tim kuasa hukum Ayin memanfaatkan celah itu untuk mengajukan berkas peninjauan kembali.

“Jadi kami sama sekali tidak mengajukan bukti baru. Kami hanya melihat hakim lalai dalam memutus perkara Ibu Ayin,” kata Sopian Sitepu di Kantor Lembaga Bantuan Hukum Nasional Bandar Lampung, Jumat (9/4).

Advertisement

Kelalaian hakim itu, kata dia, karena menggunakan keterangan saksi yang tidak bisa dijadikan alat bukti di persidangan. Dia membeberkan, dua penyidik, yaitu Yuliawan Supereni dan Harry Maryanto dari Komisi Pemberantasan Korupsi yang dihadirkan di persidangan tidak bisa dijadikan alat bukti. ”Dua saksi itu hanya mendengar dari alat eletronik. Mereka tidak mendengarkan secara langsung dan berada di tempat yang sama. Itu kekeliruan mendasar,” tegas mantan dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung itu.

Melihat celah menganga itu, Sopian Sitepu bersama Kabul Budiono, Sumarsih, dan Rio Arif melayangkan permohonan PK pada 12 Agustus 2009 lalu. Menurut pasal 363 KUHP, PK bisa diajukan jika adanya bukti baru dan adanya unsur kelalaian hakim. ”Pengajuan PK itu melalui diskusi cukup panjang dengan Ibu Ayin. Kita berdiskusi 1,5 bulan,” katanya.

Dia menuturkan, setelah melalui perdebatan panjang, Ayin kemudian meneken surat kuasa pada Lembaga Bantuan Hukum Nasional untuk mengajukan Peninjauan Kembali pada pertengahan Juli 2009. Belakangan kuasa untuk mengajukan Peninjauan Kembali itu dianggap tidak lazim. ”Tidak ada yang janggal. Semua sesuai dengan aturan serta tidak bertentangan dengan KUHP,” bantah Sopien.

Advertisement

Tim kuasa hukum mendasarkan pada keputusan Menteri Kehakiman Nomor M-4 Tahun 1983 yang diteken tanggal 10 Desember 1983. Di situ, kata dia, aturan dan pedoman pengajuan Peninajuan Kembali diatur. ”Pengajuan PK melalui kuasa hukum tidak masalah. Boleh-boleh saja,” katanya.

Setelah empat kali sidang, Ayin mendapat korting enam bulan dari hukuman lima tahun penjara akibat menyuap jaksa Urip Tri Gunawan. ”Angpao” kortingan itu tidak lantas membuat Ayin sumringah. ”Ibu Ayin tetap saja kecewa. Tidak semestinya dia dihukum sebegitu lama,” katanya.

Menurut Sopian, hukuman yang diterima Ayin merupakan terberat di Republik Indonesia atas kasus penyuapan. Keputusan hakim yang menerapkan hukuman maksimal dinilai tidak adil. ”Hakim sudah ketakutan sebelum memutus perkara Ibu Ayin. Opini media massa sudah begitu menjadi momok yang menakutkan bagi hakim. Keputusan hakim sedikit banyak terpengaruh pemberitaan media massa,” tegasnya.

Advertisement

Tempointeraktif/ tiw

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif