Lifestyle
Senin, 8 Februari 2010 - 09:21 WIB

Tari Bedoyo Tejonoto ditampilkan

Redaksi Solopos.com  /  Budi Cahyono  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

JOGJA: KGPAA Paku Alam IX, Minggu (7/1) malam methuk dan ngunduh mantu untuk putra bungsunya, BPH Hario Danardono Wijoyo, dengan Julie Annissa Prabhawati, putri bungsu KRT Sugiharto Soeleman Dirjohandoyo.

Methuk dan ngunduh mantu sendiri adalah tradisi yang sarat dengan makna untuk mempersiapkan para temanten untuk membangun rumah tangga sendiri dan melepas ketergantungan dari keluarga laki- laki.

Advertisement

Untuk mengiringi syukuran pelepasan tersebut, 7 orang penari putri malam kemarin menarikan sebuah tarian Bedoyo Tejonoto. Tarian ini berasal dari Keraton Surakarta. Awalnya, tarian ini diperagakan 9 penari.

Menurut KMRT Mangundiprojo oleh Sri Susuhan Paku Buwono X, tarian itu dihadiahkan kepada putri tercintannya, BRA Retno Puwoso saat menikah dengan KGPAA Paku Alam VII pada 1909. “Namun sebetulnya tarian ini juga sebagai simbol bersatunya Puro Pakualaman dengan Kesultanan Ngayoyakarta,” ujar dia.

Selain tarian  itu, disuguhkan pula tarian Klono Topeng yang menggambarkan seorang raja bernama Klono Sewandono dari Kerajaan Bantarangin yang sedang jatuh cinta kepada Dewi Condrokirono.

Advertisement

Nampak dalam acara tersebut Raja Keraton Jogja, Sri Sultan Hamengku Buwono X. Seniman dan Budayawan, serta kerabat Trah Pakualaman. Salah satu kerabat Trah Pakualaman Jakarta yang tergabung dalam paguyuban Hudyana, KMT Notosogito sengaja memberikan sovenir mawar dan melati kepada undangan.

“Untuk membuat rangkuman mengenai sejarah Puro Pakualaman itu, kami menghabiskan waktu sekitar dua bulan. Hanya satu falsafah mawar dan melati itu yakni ibaratnya bendera bangsa ini, Merah putih. Piwulang dan paweling Puro Pakualaman juga untuk keberlangsungan Bangsa Indonesia,” jelasnya.

Piwulang dan paweling ini berupa ajaran keutamaan hidup, yaitu sadar berketuhanan, sadar berkehidupan semesta, sadar berperadaban manusia. Dalam buku setebal 71 halaman itu, selain silsilah KGPA Paku Alam I  dan Pakualam IX juga diceritakan bagaimana kiprah Puro Pakualaman dalam mendukung eksistensi kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Advertisement

“Di pemerintah DIY KGPAA Paku Alam VIII pernah menjadi gubernur 1988-1998, setelah Sri Sultan Hamengkubuwono IX mengkat di tahun 1988. Ini senantiasa perlu diingat oleh anak cucuk,” kata Notosugito.

Untuk kembali memperlihatkan keeksistensian Puro Pakualaman, Notosugito berujar akan kembali membuat buku Mawar dan Melati dari Puro Pakualaman jilid II.” Tentu ini membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Kami dari Trah Jakarta ingi mengharumkan Puro Pakualaman,” tukasnya.

Oleh Andreas Tri Pamungkas
HARIAN JOGJA

Advertisement
Kata Kunci :
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif