Redaksi Solopos.com / Indah Septiyaning Wardani | SOLOPOS.com
Jakarta--Pasca pemberitaan mewahnya sel Artalyta Suryani (Ayin) cs, petugas lapas kini menanggung malu kepada pandangan masyarakat. Padahal, mereka hanyalah orang yang bekerja di “tempat sampah” sistem penegakan hukum di Indonesia.
“Kami sangat berterimakasih atas koreksinya. Tapi, akibatnya, saya dan anak buah saya sekarang malu. Untuk memakai seragam pun, kami sungkan. Malah, tadi ke acara ini, saya juga berencana pakai baju preman. Ya karena itu,” kata Karutan Pondok Bambu, Catur Budi Fatayatin dalam diskusi tentang lembaga pemasyarakatan di Hotel Sahid, Jalan Sudirman, Jakarta, Selasa, (26/1).
Atas kejadian tersebut, dia meminta masyarakat memahami permasalahan di Rutan. Contohnya, sesuai UU, Rutan berada dalam tiap kabupaten. Sedangkan Rutan Pondok Bambu menampung 5 wilayah di Jakarta plus Bekasi dan Cikarang atau total 7 wilayah.
“Di Rutan, itu penghuninya beragam, dari pencopet hingga penodong. Contohnya terpidana penipu yang suka bersih. Sehingga mengecat sel. Dan kami tak ada dana pengecetan per sel. Jadi ya boleh,” tambahnya.
Masalah lain yaitu masalah dana anggaran dan yang terakhir masalah keamanan. Dari 108 petugas harus mengawasi mengawasi 1170 atau 1 petugas harus mengawasi 11 orang penghuni. “Padahal standar 1 petugas mengawasi 4 orang,” bebernya.
Menanggapi permasalah ini, pengamat hukum Universitas Sumatera Utara, USU, Mahmud Mulyadi, menilai kasus penjara karena masyarakat memandang LP ibarat tempat sampah. Sebagai tempat sampah, LP menjadi tempat buangan dari aparat penegak hukum lain.
“Apa-apa penjara. Salah, pasti penjara. Padahal, LP sudah overload,” bebernya.
dtc/isw