News
Rabu, 20 Januari 2010 - 16:13 WIB

Abu Jibril cabut permohonan uji materi UU Antiterorisme

Redaksi Solopos.com  /  Ahmad Mufid Aryono  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Jakarta–Panitera Mahkamah Konstitusi (MK) Zainal Arifin Hoesein mengatakan, terdapat surat resmi dari Abu Jibril yang mencabut permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

“Kepaniteraan menerima surat dari M Iqbal Abdul Rahman (nama asli Abu Jibril) tertanggal 20 Januari 2010 yang isinya mencabut permohonan uji materi,” kata Zainal di Gedung MK di Jakarta, Rabu (20/1).

Advertisement

Menurut dia, isi dalam surat tersebut tidak diterangkan tentang alasan pencabutan permohonan.

Namun, lanjut Zainal, sesuai dengan Pasal 35 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi Nomor 24 Tahun 2003, pemohon dapat menarik kembali permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan.

Advertisement

Namun, lanjut Zainal, sesuai dengan Pasal 35 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi Nomor 24 Tahun 2003, pemohon dapat menarik kembali permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan.

Sedangkan dalam ayat (2) disebutkan, penarikan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan permohonan tidak dapat diajukan kembali.

Zainal memaparkan, surat resmi permohonan tersebut diantarkan melalui kurir pada Rabu (20/1) sekitar pukul 11.20 WIB. Dalam surat tersebut juga terdapat pencabutan surat kuasa dari Abu Jibril kepada para kuasa hukumnya tertanggal 11 Januari 2010.

Advertisement

Zainal juga menuturkan, untuk kelanjutan dari perkara uji materi UU No 15/2003 akan diputuskan dalam rapat permusyarawatan hakim (RPH).

Sebelumnya, Abu Jibril dan empat orang pemohon lain, yaitu Umar Abduh, Haris Rusly, John Helmi Mempi, dan Hartsa Mashirul HR, mengajukan uji materi UU No 15/2003.

Abu Jibril dalam sejumlah kesempatan mengemukakan, pemberlakuan UU Pemberantasan Terorisme telah melanggar hak azasi manusia dan diskriminatif terhadap mereka yang masih berstatus tersangka dalam kasus terorisme.

Advertisement

Salah satu contoh diskriminatif tersebut, menurut Abu Jibril, adalah penggunaan data intelijen sebagai bukti awal untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka kasus terorisme seperti yang terdapat dalam Pasal 26 ayat (1).

Abu Jibril juga menyayangkan perlakuan aparat kepolisian terhadap anaknya, Muhammad Jibril, yang hingga kini masih ditahan dan kasusnya masih belum masuk ke pengadilan.

ant/fid

Advertisement

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif