Aneka kuliner di Pasar Gede tak sekadar menawarkan cita rasa yang aduhai. Lebih dari itu, sekaligus juga bisa bernostalgia. Entah dengan kondisi tempat yang tetap antik, cara penyajian makanannya yang unik bahkan sampai cara menghitung yang klasik. Salah satunya, di warung Timlo Sastro yang letaknya di timur Pasar Gede. Selain suasana yang tak banyak berubah sejak dulu, cara menghitung gaya klasik juga masih dipertahankan, yakni menggunakan sabak —papan tipis berwarna hitam berukuran sekitar 30 cm x 20 cm— dengan alat tulisnya berupa kapur tulis.
Seperti siang itu, tangan Setyo Tri Wahyuni generasi kedua Sastrohardono —nama lengkap sang ayah— dengan lincah menorehkan angka-angka di sabak dan menghitung secepat dibantu kalkulator maupun alat hitung semacamnya. ”Ini memang kekhasan dari Timlo Sastro selain dari rasanya,” ujarnya saat ditemui Espos di warungnya, pekan lalu.
Sementara itu bagi para penggila kudapan intip, nuansa cara memasak dan penyajian gaya lama juga masih dapat dijumpai di warung intip Bu Boniyem yang letaknya di sebelah pintu utara Pasar Gede. Sehingga, saat membeli intip di sana, justru tak akan menemukan intip serupa alat musik terbang yang sudah dibungkus plastik rapi.
Melainkan intip-intip panas yang baru diangkat dari penggorengan layaknya fresh from the oven.
Tren penyajian kebanyakan masakan dan kudapan masa kini yang serba disajikan segera seusai dimasak. “Dan di sini dari dulu intipnya asli, bukan intip yang sengaja dicetak. Bahan bakar untuk menggoreng juga tetap menggunakan arang agar aromanya tetap khas,” terang salah seorang anak Boniyem sembari menggoreng, Agus Waryanto.
Oleh: Esmasari Widyaningtyas, Fetty Permatasari