News
Sabtu, 9 Januari 2010 - 12:27 WIB

Pertamina, Cari Untung Yes, Pelayanan Beres

Redaksi Solopos.com  /  Anik Sulistyawati  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

 Beberapa ibu rumah tangga yang biasa mangkal di perempatan jalan kampung tampak asik mengobrol sambil memilah dan memilih sayuran. “Eh, dengar-dengar harga gas elpiji mau naik lagi loh,” ujar salah satu ibu.
“Walah, masak to Bu?”
“Kabarnya sih. Ya semoga saja tidak jadi naik. ”
“Ya, rakyat kecil seperti kita ini memang hanya bisa pasrah dan berdoa semoga bahan bakar tidak naik terus. Sebab kalau bahan bakar udah naik, biasanya harga barang-barang lain ikutan naik. Bikin pusing saja.”
Percakapan sederhana itu bisa jadi sangat familiar di telinga kita. Bahkan terkadang tak sekadar percakapan sederhana para ibu rumah tangga, fluktuasi harga bahan bakar seperti minyak dan gas bisa menjadi bahan diskusi atau debat publik, atau juga menyulut aksi sosial masyarakat seperti demonstrasi.  
Memang masalah harga bahan bakar khususnya minyak dan gas sangat berpengaruh besar dalam roda perekonomian nasional. Dalam perjalanan bangsa ini seiring dengan fluktuasi harga minyak dunia, beberapa kali pemerintah menetapkan kenaikan harga BBM (bakar bakar minyak). Tak ayal kebijakan ini menyulut gejolak massa.  Pemerintah pun mengambil langkah instan dengan memberikan Bantuan Langsung Tunai ( BLT).  Namun langkah ini pun kurang efektif untuk jangka panjang, selain menimbulkan pro dan kontra bahkan menjadi komoditas politik bagi pihak-pihak tertentu. Aksi-aksi unjuk rasa bermunculan yang tentu saja memperparah keadaan. Lagi-lagi rakyat yang menjadi korban.
Kalau sudah begini, tudingan langsung tertuju kepada Pertamina yang bertanggung jawab pada hitam putihnya masalah energi di negeri ini. Sebagai satu-satunya BUMN pengelola sumber energi, Pertamina memang memiliki tugas berat sebagai pilar peyangga kebutuhan energi bagi masyarakat. Namun di lain sisi Persero ini juga dituntut harus bisa menjadi perusahaan komersil yang mandiri dan menguntungkan. 
Dualisme fungsi Pertamina ini harus bisa berjalan beriringan. Selain bisa memenuhi kebutuhan energi pada rakyat secara adil dan bijaksana. Di era kompetisi bisnis Migas seperti saat ini Pertamina dituntut juga untuk memenangkan persaingan di pasar energi. Apalagi perusahaan Migas asing seperti Exxon Mobil, Shell dan Petronas juga mulai merentangkan sayapnya di Indonesia.
Kebijakan rasionalisasi harga BBM memang harus diambil jika tidak ingin APBN kita tergerus triliunan rupiah setiap tahunnya. Paling tidak itulah pendapat pemerintah. Namun apakah hal itu satu-satunya opsi untuk menyelamatkan APBN dengan mengorbankan kepentingan rakyat?
Menurut data Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk miskin di Indonesia sampai Maret 2008 tercatat sebanyak 34,96 juta jiwa atau 15,42%. Sedangkan pendapatan per kapita  masyarakat Indonesia pada tahun 2009 adalah Rp 24,3 juta atau US$ 2,590. Memang ada kecenderungan peningkatan pendapatan perkapita dari tahun sebelumnya. Namun angka tersebut masih sangat jauh dari negara-negara maju seperti Amerika Serikat yang mencapai US$42,000atau Belanda sekitar US$ 38,618. Atau bahkan dari negara tetangga terdekat kita seperti Malaysia sekalipun, yang konon memiliki pendapatan perkapita tiga kali lipat dari Indonesia. Meski sulit dihindari, kebijakan menaikkan harga Migas sebenarnya bukan solusi terbaik dalam mengatasi masalah energi. Sebagai pemegang kebijakan, pemerintah bisa menempuh jalan dengan menggali sumber pendapatan lain seperti dari pajak dan peningkatan ekspor non migas disamping juga peningkatan pemberantasan korupsi yang nyata-nyata juga menggerogoti APBN baik secara langsung maupun tidak langsung.
Sementara sebagai pelaksana teknis, pihak Pertamina  sendiri banyak hal yang bisa dilakukan agar menjadi sebuah perusahaan negara yang besar dan mandiri. Menurut data Pertamina, perusahaan ini telah menyumbangkan deviden kepada negara senilai Rp 17,8 triliun dan pemerintah telah menetapkan Rp 20 triliun untuk pencapaian 2010 ini. Sebuah tantangan sekaligus peluang  yang harus dijawab dengan kerja keras tentunya.

Kelas dunia
Pertamina sebagai penguasa tunggal industri energi di Indonesia, bertugas menggali dan mengolah sumber daya energi dari sektor hulu seperti eksplorasi, produksi, transportasi hingga menyediakan sumber energi yang siap pakai di sektor hilir. Tak heran permasalahan yang dihadapi Pertamina cukup kompleks dan beragam.
Seperti pernah diungkapkan Deputi Direktur Perkapalan Pertamina Suhartoko di sebuah media online, guna menghadapi para kompetitor tersebut sebagai konsekuensi Pertamina harus melakukan efisiensi terhadap operasional serta mengoptimalkan kehandalan sarana dan fasilitas yang ada. Serangkaian upaya yang telah dilakukan Pertamina antara lain dengan melakukan efisiensi biaya operasional, pengembangan bisnis BBM industri, mengurangi depot krisis, serta pencapaian SPBU Pasti Pas. Khusus di bisnis pelumas Pertamina telah melakukan ekspansi ke sejumlah negara semisal Pakistan, Australia, Singapura, Belgia, Taiwan, Arab Saudi dan Qatar. Negara yang akan dijajaki selanjutnya adalah Myanmar, Kuwait, Jerman, Selandia Baru, Vietnam dan Yaman.
Sebagai panduan, Pertamina telah mencanangkan sebuah idealiasme dalam bentuk Program Transformasi yang dimulai tahun 2006. Program ini bertujuan untuk memposisikan diri Pertamina menjadi lebih baik dalam menyikapi tantangan perkembangan. Sesuai misi perusahaan maka target Program Transformasi ditetapkan pada tahun 2014 yaitu menjadi perusahaan minyak nasional kelas dunia (worl class national oil company) dengan tata konsep 6C yaitu clean, competitive, confident, costumer focused, comercial dan capable. Di sini jelas harus ada keseimbangan antara posisi Pertamina yang berorientasi bisnis dengan kedudukannya sebagai pelayanan masyarakat atau publik.
Sesuai dengan konsep costumer focused, Pertamina harus mengedepankan kepentingan masyarakat luas. Perluasan dan pengembangan SPBU Pasti Pas menjadi sesuai tuntutan yang tak terelakan seiring perkembangan jumlah dan kebutuhan penduduk. Namun di lain sisi Pertamina harus tetap memperketat dan selektif dalam menambah jumlah SPBU. Jangan seperti yang kita lihat saat ini, jumlah SPBU terutama di kota-kota besar semakin menjamur. Bahkan jarak antara SPBU yang satu dengan yang lain tak sampai dua kilometer. Hal ini tentu saja bertentangan dengan program efiensi energi yang digembar-gemborkan pemerintah juga Pertamina sendiri.  Untuk menghindari pemborosan sumber daya energi tak terbaharukan salah satu jalan yang bisa diambil adalah dengan mengembangkan sumber energi yang terbaharukan atau mencari energi alternatif. Langkah Pertamina yang mulai memproduksi bio pertamax dan bio solar, harus diikuti dengan langkah-langkah selanjutnya, misalnya dengan terus mensosialisasikan dan memperluas pendistribusiannya kepada masyarakat.
Selain sebagai pelopor, Pertamina juga harus bisa menjadi motivator penghematan energi. Dalam hal ini Pertamina bisa menjadi sponsor atau bahkan investor penemuan energi alternatif oleh masyarakat. Sementara sebagai motivator penghematan energi, Pertamina bisa melakukan sosialisasi cara-cara penghematan energi baik secara langsung maupun melalui media massa. Jika semua ini biasa diterapkan, harapan Direktur Pertamina Karen Agustiawan dan seluruh rakyat Indonesia untuk menjadikan Pertamina sebagai world class national oil company bisa menjadi kenyataan.  Pertamina yang mandiri bisa menjadi penyuplai deviden bagi negara di lain sisi juga bisa menjadi pelayan kebutuhan energi rakyat tanpa harus ada yang dikorbankan. Jadi, cari untung yes, pelayanan beres!

Advertisement

Oleh Anik Sulistyawati

Advertisement
Advertisement
Advertisement
Kata Kunci :
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif