Redaksi Solopos.com / Indah Septiyaning Wardani | SOLOPOS.com
Jakarta–Meski Ujian Nasional (UN) telah dianulir oleh Mahkamah Agung (MA), pemerintah bersikeras akan tetap melanjutkan. Upaya tetap melaksanakan UN hanya akan menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
“Sudah waktunya dihentikan. Dari tahun ke tahun, anggaran ratusan miliar rupiah habis buat UN,” kata pengamat pendidikan dari Indonesian Corruption Watch (ICW) Ade Irawan di kantornya, Jl Kalibata Timur, Jakarta Selatan, Jumat (8/1).
Sejak 2003, anggaran yang dikucurkan untuk UN sebesar Rp 250 miliar. Kenaikan signifikan terjadi tahun 2007 menjadi Rp 572,9 miliar dan 2008 sebanyak Rp 439 miliar. Jumlah tersebut belum termasuk anggaran daerah yang dipergunakan untuk pelatihan guru-guru menghadapi UN yang nilainya mencapai Rp 5 miliar.
“Jadi ini perlu dievaluasi. Jangan-jangan karena duit sebanyak itu, UN dipaksakan,” sesal Ade sembari meminta BPK mengaudit pengeluaran sebanyak itu.
Bagi siswa, dampak ekonomi sangat terasa. Berbagai biaya tambahan dipergunakan untuk menjamin kelulusan. Seperti untuk les, bimbingan belajar, guru privat atau buku tambahan.
“Akhirnya yang yang punya duit banyak dan bisa mengakses itu yang menang dalam kompetisi ini. Ini tidak adil,” ucapnya.
Dengan biaya tinggi itu, menurut sejumlah aktivis tidak sebanding dengan hasil yang diperoleh. UN dianggap menumpulkan esensi pendidikan dan melayani birokrasi semata.
“Ujung-ujungnya hanya mencari bocoran soal, atau melakukan segala cara supaya lulus,” tegasnya.
dtc/isw