Lifestyle
Selasa, 29 Desember 2009 - 14:46 WIB

Steven Johnson, asing namun berisiko

Redaksi Solopos.com  /  Is Ariyanto  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Sindrom Steven Johnson (SSJ) mungkin masih asing terdengar di telinga. Maklumlah, himpunan gejala atau tanda yang terjadi serentak menandai ketidaknormalan tertentu ini terbilang jarang terjadi di Indonesia. Hanya sekitar 1 hingga 6 per juta orang. Dengan kata lain, rata-rata jumlah kasus sindrom ini hanya sekitar 0,03 %.
Sindrom ini ditandai dengan mengelupasnya kulit akibat reaksi alergi. Obat-obatan anticonvulsant yang banyak digunakan untuk menghilang kejang seperti karbamazipien, obat aupurinol untuk asam urat serta obat golongan sulfonamid yang digunakan untuk pengobatan infeksi dan radang, diketahui berisiko tinggi menyebabkan reaksi alergi yang berujung pada sindrom tersebut.
“Meski jumlah kasusnya sedikit, penyakit ini tidak boleh diremehkan. Terlambat memberi penanganan, SSJ bisa menyebabkan cacat —atau lebih parah lagi— kematian,” ungkap ahli penyakit kulit dan kelamin, Prof Dr dr Harijono Kariosentono SpKK saat ditemui di ruang praktiknya.
Secara singkat, sindrom ini dapat didefinisikan sebagai kumpulan gejala klinis berupa kelainan pada kulit. Dari beberapa faktor penyebab, sekitar 50% ditengarai sebagai akibat reaksi alergi terhadap obat. Menurut Harijono, SSJ ditandai dengan munculnya tiga gejala berupa cidera pada kulit seperti luka lecet kemerahan pada bagian tubuh tertentu dan melepuh seperti luka bakar. Gejala lain berupa luka pada jaringan mukosa, seperti mulut, tenggorok atau genital dan pada tahapan lebih lanjut, dapat mengakibatkan luka pada mata yang mengakibatkan mata sulit dibuka. “Bila kerusakannya cukup parah, meski penyakitnya dapat disembuhkan pasien akan mengalami kebutaan.”
Pada tingkatan lebih lanjut, SSJ dengan penyebaran luka mencapai lebih dari 10 % bagain tubuh dikategorikan sebagai Toxic epidermal necrolysis (TEN). “Gejala antara SJS dan TEN sebenarnya sama, yang membedakan hanya luas penyebaran luka,” sebut dia.
Walau bisa diobati, pasien SSJ yang terlambat mendapat penanganan dapat berujung pada kematian. Hal ini lantaran komplikasi yang kerap mengiringi sindroma tersebut. “Komplikasi dapat berbentuk dehidrasi, shock atau infeksi lainnya.”
Menurut Harijono, penanganan pertama dalam pengobatan SJS adalah dengan menghentikan konsumsi obat-obatan yang dicurigai sebagai pencetus. Selain itu, untuk menghindari infeksi seperti virus herpes yang berpotensi terjadi lantaran erupsi kulit, para pasien biasanya dirawat di ruang isolasi khusus.

Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif