Entertainment
Sabtu, 12 Desember 2009 - 21:01 WIB

Deklarasi Hari Kartun Nasional, 11 Desember 2009

Redaksi Solopos.com  /  Is Ariyanto  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - BUKA PAMERAN—Walikota Solo Joko Widodo (kiri) menerima lukisan kartun dari Ketua Pakarti (persatuan kartunis Indonesia) Is Aryanto (kanan) saat membuka Pameran Kartun Nasional di Monumen Pers Solo, Sabtu (12/12) malam. Espos/Sunaryo Haryo Bayu

BUKA PAMERAN—Walikota Solo Joko Widodo (kiri) menerima lukisan kartun dari Ketua Pakarti (persatuan kartunis Indonesia) Is Ariyanto (kanan) saat membuka Pameran Kartun Nasional di Monumen Pers Solo, Sabtu (12/12) malam. Espos/Sunaryo Haryo Bayu

Siapa sangka pencanangan Hari Kartun Nasional dilakukan di Kota Solo, bersamaan dengan pembukaan Pameran Kartun Nasional bertema Indonesia Dalam Kartun di Monumen Pers Solo, Sabtu (12/12). Sebanyak 200 kartun dari dua dimensi sampai banyak dimensi dipamerkan oleh 80 kartunis dari berbagai daerah di Indonesia.
”20 tahun yang lalu Pakarti berdiri tepatnya 11 Desember 1989, meskipun tertatih-tatih namun masih bisa berjalan hingga sekarang dan baru kali ini kami mencanangkan Hari Kartun Nasional, di Monumen Pers yang menjadi tempat bersejarah insan pers,” kata Pramono R Pamoedjo, pendiri Pakarti sebelum mencanangkan Hari Kartun Nasional.
Diakui Pramono yang juga pengurus Museum Kartun Indonesia ini, banyak kendala yang mereka hadapi karena banyak yang beranggapan kartun merupakan gambar yang tidak berarti, padahal sejarah Indonesia dalam kartun telah ada sejak tahun 1950.
Namun bagaimana dengan kartun era sekarang? Dulu istilah gambar sudah bisa bicara, melekat erat dengan karya kartun atau pun karikatur. Namun media kartun saat ini tidak hanya dua dimensi, tapi telah merambah ke media tiga dimensi, dari patung hingga karya instalasi. Koesnan Hoesi (kartunis Koran Wawasan) memotret fenomena pedofilia yang  sempat jadi buah bibir di kawasan Semarang lewat karya instalasi bertajuk Pedofilia yang disimbolkan dengan dua sepeda angin zaman dulu yang berdampingin, kemudian di bawahnya ada sepeda mini yang biasa dipakai anak-anak sebagai simbol anak di bawah umur.
Berbeda halnya dengan Is ”Hio” Ariyanto menyajikan fakta perselingkuhan dengan sepasang sandal jepit yang berbeda warna. Demikian pula dengan instalasi Cicak vs buaya yang disajikan oleh Christiana Anggriani, satu- satunya perempuan kartunis dalam pameran tersebut juga memotret persoalan sosial yang sedang terjadi saat ini. Perempuan kartunis yang juga pelukis ini menyentil konflik KPK vs Polri lewat boneka buaya yang berhadapan dengan boneka cicak namun dilingkupi dengan boneka-boneka kartun.  ”Masyarakat dan pihak-pihak yang meneriakkan penegakan keadilan atas konflik KPK  vs Polri hanya jadi penonton, yang saya simbolkan dengan boneka kartun,” ungkapnya.
Sementara itu ratusan karya kartun dua dimensi yang disuguhkan kartunis Pramono R Pramoejo (Sinar Harapan), Priyanto Sunarto (Majalah Tempo), Joko Luwarso (Warta Kota), Tyud (Seputar Indonesia), Gatot Eko Cahyono (Suara Pembaruan), Djoko Susilo (Suara Merdeka), Koesnan Hoesi  (Wawasan). Syamsul Arifin (Bog-Bog), Jitet Koetana, Tommy Thomdean, Didi SW (Kompas), Warsono (Joglosemar), Mugi Suryana (SOLOPOS) dan beberapa kartunis dari kelompok kartun di Kota Semarang dan sekitarnya juga tidak kalah menggelitik tawa. Kartunis asal Aceh, Iswadi misalnya menyentil pidato Presiden SBY tentang konflik KPK vs Polri lewat karya Jurus Mengambang.
Dalam perhelatan tersebut, Walikota Solo, Joko Widodo merespons positif terselenggaranya pameran kartun tersebut. ”Sangat positif karena Pameran Kartun seperti ini ikut menghidupkan kota Solo,” kata Jokowi.
Inspirasi para kartunis dalam pameran kartun kali ini ternyata memancing kreator baru di dunia kartun, salah satunya Mayor Haristanto yang mengulik persoalan KPK vs Polri lewat instalasi orang (sesungguhnya) yang sedang bergulat dengan buaya bertajuk Bibit Samad Riyanto.

Advertisement

Oleh: Eri Maryana

Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif