News
Rabu, 14 Oktober 2009 - 13:17 WIB

Peneliti Indonesia temukan gen pengontrol zat besi

Redaksi Solopos.com  /  Ahmad Mufid Aryono  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Brisbane–Peneliti Indonesia yang bekerja di Lembaga Riset Medis Queensland (QIMR), Dr Beben Benyamin, menemukan gen yang membantu mengontrol konsentrasi zat besi dan hemoglobin dalam tubuh bersama tim riset kolaborasi berbagai universitas dan lembaga penelitian di Australia, Belanda, dan Amerika Serikat (AS).

“Dari penelitian ini kita menemukan gen yang berasosiasi dengan konsentrasi zat besi dan hemoglobin di tubuh sampel. Ini temuan terbaru dan laporan hasil penelitiannya telah dipublikasikan di Jurnal ‘Nature Genetics’ awal pekan ini,” kata Beben Benyamin di Brisbane, Rabu (14/10).

Advertisement

Penemuan tim risetnya itu akan meningkatkan pemahaman para ilmuwan tentang metabolisme zat besi dalam tubuh dan diharapkan membuka jalan bagi penemuan-penemuan berikutnya yang berhubungan dengan penanganan penyakit akibat ketidakseimbangan zat besi dalam tubuh, seperti anemia.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan angka prevalensi penyakit anemia mencapai 25 persen dari total jumlah penduduk dunia dengan konsentrasi terbesar berada di kawasan Asia Selatan dan Asia Tenggara, termasuk India dan Indonesia, kata peneliti QIMR yang menamatkan pendidikan sarjananya di Institut Pertanian Bogor (IPB) itu.

Advertisement

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan angka prevalensi penyakit anemia mencapai 25 persen dari total jumlah penduduk dunia dengan konsentrasi terbesar berada di kawasan Asia Selatan dan Asia Tenggara, termasuk India dan Indonesia, kata peneliti QIMR yang menamatkan pendidikan sarjananya di Institut Pertanian Bogor (IPB) itu.

Doktor bidang genetika statistik lulusan Universitas Edinburgh Skotlandia yang telah menghasilkan sedikitnya 14 publikasi internasional itu mengatakan, perubahan susunan DNA pada gen TMPRSS6 tersebut ditemukan setelah tim risetnya melakukan studi terhadap genom dari 4.800 orang sehat dari Australia dan Belanda.

Penelitian terhadap 4.800 orang sehat berusia 10 tahun hingga 80-an  tahun itu menggunakan teknik baru yang sedang populer di kalangan para ahli genetika, yakni “genome-wide association test”.

Advertisement

“Konsentrasi zat besi di setiap orang itu berbeda-beda akibat dari faktor genetika dan lingkungan, termasuk makanan yang dikonsumsi. Nah kita tertarik untuk mencari gen apa yang sebenarnya menyebabkan perbedaan zat besi tersebut. Selain itu, kita juga ingin mengetahui apakah gen tersebut juga mempengaruhi kadar hemoglobin dalam darah,” katanya.

Setelah melalui proses penelitian berbiaya jutaan dolar Australia atau miliaran rupiah untuk melihat perubahan DNA dan hubungannya dengan konsentrasi zat besi dan hemoglobin itu, pihaknya menemukan gen yang membantu mengontrol konsentrasi zat besi dan hemoglobin dalam tubuh.

Menurut Beben, gen yang sebelumnya telah dikaitkan dengan penyakit anemia tipe langka yang diturunkan tersebut, mempengaruhi konsentrasi zat besi dan hemoglobin (protein pada sel darah merah yang mengangkut oksigen) serta ukuran sel darah merah (mean cell volume, MCV) dalam tubuh seseorang.

Advertisement

“Ketidakseimbangan zat besi dalam tubuh dapat menyebabkan berbagai penyakit. Kelebihan zat besi dapat menyebabkan penyakit ‘haemacrhomatosis’ yang dapat memicu terjadinya kegagalan fungsi hati. Sebaliknya, kekurangan zat besi dapat menyebabkan anemia,” katanya.

Variasi DNA pada TMPRSS6 yang ditemukan tim risetnya itu sangat umum ditemukan di berbagai bangsa di dunia. Sekitar 40 persen orang keturunan Eropa membawa variasi gen yang berhubungan dengan rendahnya konsentrasi zat besi dan hemoglobin. Bagi orang-orang Asia, 60 persen dari mereka membawa variasi gen tersebut, katanya.

Dr Beben Benyamin yang menjadi penulis pertama dari artikel yang dimuat di Jurnal prestisius “Nature Genetics” itu juga menambahkan bahwa orang yang mempunyai variasi DNA tersebut mempunyai kadar zat besi dan hemoglobin yang rendah daripada orang yang tidak mempunyainya.

Advertisement

Selain peneliti QIMR, riset kolaborasi dari berbagai universitas dan lembaga penelitian di Australia, Belanda, dan AS itu juga melibatkan para peneliti dari Institut Diamantina, Universitas Queensland, dan “Twin Register” Belanda.

ant/fid

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif