Jakarta–Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan audit penjualan elpiji yang dilakukan oleh PT Pertamina (Persero).
“BBM dan minyak tanahkan sudah diaudit oleh BPK, tapi kalau elpiji kan belum,” ujar Koordinator Pusat Data dan Analisis Indonesia Corruption Watch Firdaus Ilyas, di Kantor ICW, Kalibata, Jakarta, Selasa (13/10).
Menurut Firdaus, audit yang harus dilakukan BPK itu terkait kebutuhan elpiji nasional dan harga patokannya.
Dengan audit tersebut, maka akan terbukti apakah benar Pertamina memang merugi dan bagaimana formulasi harga jualnya. “Pemerintah harus paksa Pertamina untuk buka hitung-hitungannya,” katanya.
Selain itu, Firdaus juga menyoroti penggunaan patokan CP Aramco sebagai acuan penentuan harga pokok elpiji.
Menurut dia, hal tersebut tidak menggambarkan kondisi biaya produksi elpiji di dalam negeri sebab mayoritas dari kebutuhan elpiji saat ini didapat dari produksi kilang PT Pertamina (Persero) dan kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) yang beroperasi di Indonesia.
“Kalau dari kilang dalam negeri seharusnya tidak perlu memakai harga acuan elpiji di pasar internasional,” jelasnya.
Firdaus menyatakan penggunaan patokan CP Aramco tersebut telah merugikan masyarakat sebagai pengguna dan pemerintah yang dalam hal ini membayar biaya subsidi setiap tahunnya kepada BUMN Migas tersebut.
“Untuk itu, ke depan Departemen Keuangan (Depkeu) dibantu BPK harus merumuskan formula harga pokok elpiji yang wajar yang sesuai dengan kondisi penyediaan elpiji nasional,” tandasnya.
dtc/tya