News
Minggu, 6 September 2009 - 14:44 WIB

DPR patut pertimbangkan rekomendasi DPD soal BPK

Redaksi Solopos.com  /  Anik Sulistyawati  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Cilacap–Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshidiqie mengemukakan, DPR patut mempertimbangkan rekomendasi DPD soal calon anggota BPK (Badan Pemeriksa Keuangan).

“Jangan sampai ada kesan proses ‘fit and proper test’ yang dilakukan Komisi XI DPR sarat dengan konflik kepentingan. Kalau sampai terjadi berarti berpotensi terjadi penyalahgunaan kekuasaan dan DPR bisa dianggap melanggar UUD 1945,” ujar Jimly kepada wartawan di Jakarta, Minggu, yang juga disebarkan melalui surat elektronik.

Advertisement

Jimly menegaskan, sangat tidak patut bila proses uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) calon anggota BPK yang dilakukan Komisi XI DPR hanya formalitas, sebagai justifikasi prosedur yang harus dijalani apalagi kalau sampai mengabaikan rekomendasi DPD.

Proses uji kepatutan dan kelayakan calon anggota BPK akan berlangsung di Komisi XI DPR pada Senin (7/9) hingga Jumat (11/9), sebagai proses seleksi memilih anggota BPK yang baru, karena keanggotaan BPK 2004-2009 akan berakhir 19 Oktober mendatang.

Terdapat sekitar 50 orang akan mengikuti proses seleksi itu. Hasil uji kelayakan dan kepatutan itu dijadwalkan diumumkan pada 19 September.DPD beberapa waktu lalu telah menyerahkan rekomendasi ke DPR tentang 14 calon anggota BPK yang mereka pandang memiliki kompetensi, pendidikan dan pengalaman, integritas dan kepemimpinan terbaik dalam pengelolaan dan pengawasan keuangan negara.

Advertisement

Ke-14 nama calon anggota BPK yang direkomendasikan telah melalui seleksi di DPD yang diikuti oleh 50 orang calon, kata anggota Panita Adhoc IV DPD Marwan Batubara.

Namun, muncul kabar bahwa DPR telah memiliki tujuh nama calon yang akan direkomendasikan kepada pemerintah sebelum proses uji kelayakan dan kepatutan, sehingga proses pemilihan terkesan formalitas.

Ketujuh nama calon anggota BPK yang disebut-sebut sebagai kompromi politik antarfraksi di DPR adalah Taufikurrahman Ruki (FPD), Rizal Djalil (FPAN), Hasan Bisri (FPPP), Hadi Poernomo (FPDIP), Khairiansyah (FPKS), Ali Masykur Musa (FPKB) dan Hafis Zawawi (FPG).

Advertisement

Menurut Jimly, sesuai ketentuan pasal 13 huruf J UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK sudah diatur mengenai syarat-syarat pemilihan anggota menyebutkan paling singkat setelah dua tahun meninggalkan jabatan sebagai pejabat di lingkungan pengelolaan keuangan negara.

“Jika ketentuan pasal tersebut diabaikan, tentu saja melanggar UU dan tidak memenuhi persyaratan yang sudah diatur apalagi bila yang mengikuti proses seleksi itu ada yang masih menjadi anggota DPR dan memilih dirinya sendiri. Begitu pula dengan pejabat publik lainnya yang belum dua tahun meninggalkan jabatannya,” katanya menegaskan.

Jimly prihatin terhadap pemerintah dan DPR dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) tidak tegas dan ada konflik kepentingan, sehingga membuka peluang penyalahgunaan kekuasaan bagi mereka yang menjalankan UU itu.

“Inilah yang perlu dihindari jika memang memiliki komitmen,” ujar dia.

Menurut Marwan, seharusnya proses uji kelayakan dan kepatutan calon anggota BPK yang dilakukan Komisi XI DPR jauh dari praktik bagi-bagi kursi antarfraksi, sebab siapapun yang duduk sebagai anggota BPK harus memiliki integritas, kompetensi dan kapabilitas di bidang audit dan bersih dari praktik korupsi.

Kewenangan dan fungsi BPK terkait soal audit dan pengelolaan keuangan rakyat harus dipertanggungjawabkan, katanya.

Sekalipun Komisi XI DPR memiliki kewenangan melakukan uji kelayakan dan kepatutan itu, kata Marwan, proses yang dijalankan harus didasarkan pada penilaian yang obyektif, sesuai kriteria yang berlaku serta disesuaikan dengan kebutuhan BPK dengan tetap mengacu pada prinsip “good governance”.

“Kalau proses seleksi yang dilakukan hanya formalitas atau bagi-bagi kursi antarfraksi di DPR, dapat dibayangkan bagaimana nasib BPK ke depan apalagi bila ada anggota Komisi XI DPR memilih rekannya sendiri. Itu berarti jeruk makan jeruk dan hasilnya sudah dipastikan cacat hukum,” kata dia.

Marwan mengaku, kecewa bila DPR tidak memperhatikan rekomendasi dari DPD itu.

Politik sagang sapi

Pengamat kebijakan publik Ichsanudin Noorsy menambahkan, seleksi anggota BPK sekarang ini kental aroma bagi-bagi kekuasaan, karena sistem perekrutannya berbasis politik.

“Pola perekrutann berbasis parpol belum tentu menyehatkan kehidupan berbangsa dan negara, tetapi justru mencemarkan apalagi bila orang yang terpilih terindikasi persoalan hukum,” katanya.

Ia mengingatkan BPK adalah lembaga tinggi negara yang harus diisi oleh orang-orang yang punya integritas moral yang sudah teruji. Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo juga mensinyalir ada kejanggalan dalam uji kelayakan dan kepatutan calon anggota BPK itu.  

“Seharusnya, proses ‘fit and proper test’ mengedepankan kapabilitas, integritas dan kredibilitas calon, sehingga siapapun yang terpilih benar-benar tokoh yang mampu memimpin lembaga itu lebih baik dari sekarang. Kalau hanya formalitas, sebaiknya dibatalkan,” kata dia.

Ia mempersoalkan masuknya delapan anggota DPR yang akan mengikuti seleksi, padahal sebagian nama tersebut terindikasi persoalan hukum, bahkan sudah ada yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh KPK dalam kasus “fit and proper test” Deputi Senior Gubernur BI pada 2004 lalu.

Selain itu, beberapa kandidat dari luar DPR juga diduga terindikasi melakukan tindak pemerasan, penipuan dan ijazah palsu saat menjabat di instansi pemerintah sebelumnya, katanya.
Ant/tya

Advertisement
Kata Kunci : BPK DPD
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif