Mereka berangkat mengendarai mobil milik Pak Guru Tom Gembus menuju ke sebuah hotel berbintang, tempat menginap peserta dari luar kota. Koplo sangat senang karena sak umur-umur belum pernah tidur di hotel, apalagi hotel berbintang. Karena kamar mereka berada di lantai 8, Koplo kalau ke mana-mana selalu bersama Pak Guru Gembus.
Pada suatu ketika, pas mereka sudah sampai di lantai bawah,
“Mas Koplo, nyuwun tulung panjenengan ambilkan tas berisi perlengkapan lomba. Tadi ketinggalan,” ujar Pak Gembus.
“Oh, injih Pak!” sahut Koplo langsung mak brabat pergi.
“Oh, injih Pak!” sahut Koplo langsung mak brabat pergi.
Beberapa saat kemudian Koplo datang sambil membawa barang pesenan Pak Gembus.
“Oh injih Mas, tapi nuwun sewu, nyuwun tulung lagi, kamera digitalnya masih ketinggalan. Kalau nggak diambil nanti nggak ada dokumentasnya,” ucap Pak Gembus lagi.
Beberapa saat kemudian Koplo datang, “Menika Pak, kameranya. Kalau ada yang ketinggalan lagi, mari diambil sama-sama soalnya saya sudah capek naik turun,” ucap Koplo sambil menggeh-menggeh.
“Naik turun? Lha njenengan tadi tidak naik lift ta?” tanya Pak Gembus.
“Mboten Pak, lha kula nek dhewe mboten wani, wedi lifte macetk ten tengah-tengah. Dados kula lewat tangga,” balas Koplo beralasan karena sebenarnya ia memang tidak mudheng menjalankan lift.
“Oalah Mas… Mas. Dari tadi kok nggak mau ngendika kalau tidak berani naik lift sendirian,” ucap Pak Gembus sambil ngampet guyu.
Ternyata perjuangan Koplo naik turun tangga itu membuahkan hasil, keponakannya mendapat juara dua tingkat nasional. Selamat.
Kiriman Nanang Trimurjito, Mahasiswa Sosiologi Antropologi, Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo.