Yogyakarta–Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) setiap tahun menerima sekitar 20 ribu aduan dari masyarakat, terkait kasus dugaan korupsi,” kata pejabat fungsional pada Deputi Pencegahan KPK, Dedie A Rachim.
“Namun setelah ditelaah dan dikaji hanya sekitar 10 persen atau 2.000 aduan saja yang memiliki unsur tindak pidana korupsi sehingga bisa ditindaklanjuti oleh KPK,” katanya pada sosialisasi kerja sama KPK-DPD RI dalam upaya pemberantasan korupsi di tanah air, di Yogyakarta, Rabu.
Menurut dia, dari sejumlah kasus tersebut yang berhasil dituntaskan oleh KPK hingga vonis di Pengadilan Negeri (PN) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) hanya sekitar 50-60 kasus.
“Jumlahnya memang sedikit karena sisanya diselesaikan oleh penegak hukum lain baik polisi maupun kejaksaan,” katanya.
Ia mengatakan, sesuai kewenangannya, KPK akan selektif menerima setiap aduan korupsi dari masyarakat. KPK tidak akan menggubris surat kaleng, kliping dari surat kabar, dan kasus korupsi di bawah Rp1miliar yang masuk ke KPK.
Misalnya, kepala dinas suatu instansi selingkuh, bupati dan wali kota kawin lagi, dan pejabat memiliki wanita idaman lain juga dilaporkan ke KPK. Semua aduan itu tidak bisa ditindaklanjuti.
Menurut dia, selama empat tahun bekerja, banyak hal di KPK yang masih perlu diperbaiki agar tindak pidana korupsi bisa diturunkan dan dicegah. Sayangnya, sumber daya di KPK saat ini masih minim dengan 300 tenaga fungsional.
Selain menggalakkan penangkapan pelaku korupsi, KPK juga terus mendorong terjadinya perbaikan sistem penggajian nasional serta remunerasi beberapa sektor seperti di kepolisian dan kejaksaan.
Ia mengatakan, penggajian nasional akan diperbaiki, misalnya kenapa gaji presiden lebih sedikit dibandingkan dengan gaji direktur sebuah bank. Padahal, bank itu hanya memberi sedikit kontribusi ke APBN.
“Selain itu, remunerasi seperti di kepolisian dan kejaksaan saat ini sedang diperjuangkan untuk meningkatkan kinerja dan mengurangi kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN),” katanya.
Ant/tya